Down and Out in Paris and London – George Orwell

down and out in paris and londonTitle : Down and Out in Paris and London
Author : George Orwell (1933)
Publisher : Penguin Books
Format : Paperback, 216 pages

Poverty is what I am writing about, and I had my first contact with poverty in this slum. The slum, with its dirt and its queer lives, was first an object-lesson in poverty, and then the background of my own experiences. It is for that reason that I try to give some idea of what life was like there. (p.5)

Sebelum mengeluarkan novel pertamanya, George Orwell—penulis yang terkenal dengan karyanya Nineteen Eighty-Four dan Animal Farm—menjalani kehidupan yang sulit. Pada masa yang diceritakannya dalam autobiografinya ini, dia hidup dalam kemiskinan di waktu yang tak sebentar. Hidup dengan uang yang hanya cukup untuk sekadar membeli roti hari ini, bahkan berhari-hari tanpa makan, kesulitan mencari pekerjaan hingga harus menggadaikan pakaian yang tidak bisa dikatakan masih bagus.

You have thought so much about poverty—it is the thing you have feared all your life, the thing you knew would happen to you sooner or later; and it is all so utterly and prosaically different. You thought it would be quite simple; it is extraordinarily complicated. You thought it would be terrible; it is merely squalid and boring. (p.13)

Di Paris, pekerjaan paling mudah didapatkan adalah sebagai plongeur. Di hotel atau restoran kelas atas, tugas plongeur adalah menjadi pesuruh, mencuci piring, mengambil ini, membawakan itu, dan lain sebagainya. Apa pun yang bisa dilakukan olehnya, bahkan bila sedang sepi pun, atasan mereka selalu menemukan pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh plongeur. Dengan jam kerja hampir sembilan belas jam per hari, upah plongeur tidak seberapa. Hidup mereka hanya berkisar kerja, makan, dan tidur yang bahkan tidak memadai.

Débrouillard is what every plongeur wants to be called. A débrouillard is a man who, even when he is told to do the impossible, will se débrouiller—get it done somehow. (p.77)

I think one should start by saying that a plongeur is one of the slaves of the modern world. Not that there is any need to whine over him, for he is better off than many manual workers, but still, he is no freer than if he were brought and sold. (p.117)

Dari pengalamannya sebagai plongeur, Orwell menyadari bahwa kesenjangan sosial pada saat itu (bahkan mungkin sampai sekarang) sangatlah besar. Menurut pendapatnya, ada banyak pekerjaan yang tidak perlu, salah satunya adalah plongeur. Pekerjaan itu menurutnya adalah produk dari gaya hidup mewah sebagian orang yang lain. Para plongeur dibutuhkan untuk melayani para koki dan manager di restoran atau hotel bergengsi, padahal makanan di restoran atau hotel semacam itu sebenarnya tidak lebih baik daripada di restoran biasa—dimana makanan disajikan langsung dari koki ke meja pelanggan.

Lebih parahnya, semakin mahal sebuah restoran—sebagaimana digambarkan Orwell—semakin banyak tangan yang menanganinya, semakin banyak pula keringat, liur, dan segala ketidakhigienisan yang bisa ada pada makanan tersebut. Para pekerja itu—koki, pelayan, dan lain sebagainya—telah bekerja secara otomatis, yang paling penting adalah bagaimana pekerjaan mereka dilakukan dengan tepat dalam waktu yang singkat. Menyajikan steak, contohnya, mereka sudah tak peduli lagi apakah mereka menanganinya dengan bersih, apakah dagingnya layak dimakan, berapa kali mereka menjilat untuk memastikan rasanya, dengan apa mereka membersihkan piringnya, yang terpenting adalah steak tersaji dengan rapi dan tepat waktu di meja pelanggan.

It is for their punctuality, and not for any superiority in technique, that men cooks are preferred to women. (p.75)

Saat Orwell memiliki kesempatan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai plongeur, dia pun segera meninggalkannya, kemudian kembali ke kampung halamannya, Inggris, untuk menemui teman lamanya. Setibanya di London, dia harus mengalami kekecewaan karena keadaan memaksanya untuk kembali kepada kemiskinan dan pengangguran.

Di London, Orwell memasuki wilayah kemiskinan yang berbeda. Masuk keluar penginapan murah yang standar kebersihannya sangat rendah, makan dengan menu yang sama yang bisa dijangkaunya, secangkir teh dengan dua iris roti yang diolesi margarin, yang disebutnya tea-and-two-slices. Juga bergabung dengan rombongan yang disebut tramp (gelandangan), dimana mereka mendapatkan tempat menginap gratis dan jatah makanan murah, dengan syarat bahwa mereka tak membawa uang, rokok, juga tak boleh menginap di tempat yang sama lebih dari sekali dalam sebulan.

Dari para tramp yang dikenalnya, Orwell mengerti bahwa pandangan orang-orang tentang kelompok ini tidak sepenuhnya benar. Banyak dari mereka yang terpaksa harus memasuki kelas sosial ini karena mereka tidak memiliki pilihan. Sulitnya mencari pekerjaan membuat mereka mencari uang dengan cara-cara yang ‘mudah’, bahkan meski itu dilarang, seperti mengemis, melukis di trotoar, mengamen, dan lain sebagainya. Penghasilan yang tak seberapa itu hanya cukup untuk menyambung hidup sementara waktu, tidak ada waktu merawat diri, penyakit dan kecacatan sudah menjadi keseharian mereka. Orwell pun memiliki kesempatan untuk mengenal beberapa tramp yang memiliki idealisme dan kesungguhan dalam hal-hal tertentu, hal-hal yang semakin membuka matanya akan hal-hal yang tak akan dipahaminya bila dia tidak menjalaninya sendiri.

He might be ragged and cold, or even starving, but so long as he could read, think and watch for meteors, he was, as he said, free in his own mind. (p.169)

It is worth saying something about the social position of beggars, for when one has consorted with them, and found that they are ordinary human beings, one cannot help being struck by the curious attitude that society takes towards them. (p.174)

People are wrong when they think that an unemployed man only worries about losing his wages; on the contrary, an illiterate man, with the working habit in his bones, needs work even more than he needs money. An educated man can put up with enforced idleness, which is one of the worst evils of poverty. (p.182)

Selain menyoroti kelas-kelas sosial dalam masyarakat, Orwell juga membahas sedikit tentang bahasa, terutama dalam masyarakat kelas bawah. Dikatakannya bahwa bahasa tak resmi di Inggris saat itu cepat sekali berubah, terutama sumpah serapahnya. Dia melihat bahwa kata yang digunakan dua puluh tahun sebelumnya sudah menjadi tidak populer, dan telah digantikan oleh kata lain. Bahwa sumpah serapah sesungguhnya adalah kata-kata biasa yang arti sesungguhnya tidak memiliki tendensi apa pun, tetapi diucapkan sedemikian rupa, atau dijadikan sebuah kebiasaan di tempat tertentu hingga menjadi kasar. Kata yang sama tidak akan berarti apa-apa jika diucapkan di negara yang menggunakan bahasa yang berbeda.

Itulah sedikit dari banyak hal yang diceritakan oleh Orwell dari kehidupannya di titik terendah. Dia menjalaninya, mengkritisinya, dan menyajikan pemikirannya atas jalan keluar yang mungkin bisa dilakukan (terutama oleh pemerintah). Ada kalanya dia direndahkan hingga serendah-rendahnya, namun terkadang dia mendapatkan perlakuan istimewa saat orang memandangnya sebagai orang Inggris (saat di Paris), atau saat orang mengetahui bahwa dirinya adalah orang terpelajar.

Membaca buku ini, bagi saya, memberikan pencerahan yang sedikit banyak dimaksudkan untuk disampaikan oleh penulis, salah satunya adalah menghargai harta yang kita miliki dan pekerjaan yang kita jalani. Banyak orang yang untuk makan saja harus menggadaikan pakaian satu-satunya, juga yang untuk makan harus bekerja dengan standar yang tak memadai. Pendidikan tinggi tidak menjamin orang untuk hidup berkecukupan, tetapi kebijaksanaan bisa lahir jika orang tahu bagaimana mendapatkannya, termasuk saat berada di titik terendah.

Selain tema yang ‘berat’, buku ini juga ditulis dengan beberapa selipan bahasa yang tidak familier untuk saya, terutama beberapa kata berbahasa Perancis dan kata-kata tak resmi (slang) yang tidak selalu dijelaskan. Beberapa konteks yang terkait dengan budaya dan keadaan sosial saat itu juga berpengaruh terhadap makna kata-kata tertentu. Jadi, selain mengenal George Orwell pada masa itu, pembaca juga bisa berkenalan dengan kehidupan pada zaman tersebut.

4/5 bintang untuk awal perjalanan sang penulis.

I shall never again think that all tramps are drunken scoundrels, nor expect a beggar to be grateful when I give him a penny, nor be surprised if men out of work lack energy, nor subscribe to the Salvation Army, nor pawn my clothes, nor refuse a handbill, nor enjoy a meal at a smart restaurant. That is a beginning. (p.216)

Review #20 for Books in English Reading Challenge 2013

*Posting bersama BBI September (1) Buku biografi/autobiografi tokoh terkenal.

6 responses to “Down and Out in Paris and London – George Orwell

  1. Pingback: Buying Monday #3 : September 2013 | Bacaan B.Zee

  2. Pingback: Scene on Three (22) | Bacaan B.Zee

  3. Pingback: Books in English 2013 Wrap Up | Bacaan B.Zee

  4. Pingback: Second Year Update of The Classics Club Project | Bacaan B.Zee

  5. Pingback: Friday’s Recommendation #1 | Bzee's Inner Space

Leave a reply to melmarian Cancel reply