On Translating (Oleh-Oleh ALF 2016 Part 3/4)

Di hari terakhir saya di Jakarta pada 7 Mei 2016, saya masih menyempatkan mengikuti satu sesi ASEAN Literary Festival (ALF) 2016 lagi. Pagi itu sekitar pukul 10.00 WIB, Teater Kecil Taman Ismail Marzuki masih cukup sepi, padahal moderator dan para pembicara panel diskusi ‘On Translating’ sudah siap; Sanaz Fotouhi sebagai moderator, Kristian Sendon Cordero seorang penerjemah, penulis, sekaligus penyair dari Filipina, Dini Pandia editor Gramedia Pustaka Utama (GPU), dan John McGlynn pendiri Lontar Foundation. Acara pun sempat menunggu 15 menit sebelum kursi-kursi mulai terisi, dan semakin ramai pada pertengahan acara.

img_20160529_221423.jpg

Moderator memulai dengan menanyakan, apa pentingnya penerjemahan. Cordero mengatakan bahwa penerjemahan dapat menjangkau orang-orang yang berbicara dengan bahasa ibunya untuk ikut membaca karya sastra yang bagus. Karena Filipina merupakan negara multi bahasa, dan bahasa merupakan wujud ‘memiliki’ dalam masyarakat. Ditambahkannya bahwa karya terjemahan seharusnya menjadi bagian dari sejarah kesusastraan, karena terjemahan juga termasuk dalam sejarah perkembangan bangsa dan budaya. Mbak Dini mengatakan bahwa orang Indonesia jarang terpapar bahasa asing sehingga penerjemahan diperlukan, termasuk untuk mengenalkan budaya-budaya asing. Sedangkan McGlynn sebagai penerjemah bahasa Indonesia ke Inggris, berkebalikan dengan kedua pembicara yang lain, mengatakan bahwa penerjemahan adalah satu-satunya cara bagi penulis untuk ‘keluar’. ‘If you don’t write in English, you don’t exist.’ Maksudnya adalah eksistensi secara global, karena karya-karya penulis yang tidak diterjemahkan tidak bisa menjangkau pembaca di luar negaranya.

Berbicara mengenai sensor, mbak Dini menyebutkan bahwa di Indonesia, terutama GPU, harus cukup berhati-hati dengan konten seksual dan tema LGBTQ. Sedangkan di Filipina dikatakan bahwa pemerintah tidak membaca, sehingga bisa dikatakan tidak ada penyensoran, terkecuali karya-karya Jose Rizal yang merupakan bagian dari sejarah penting Filipina. McGlynn menyatakan bahwa di Indonesia pada masa Orde Baru banyak sensor dilakukan tetapi berdasarkan pada siapa penulisnya bukan karena isi tulisannya. Sebagai contoh Pramoedya Ananta Toer yang karya-karyanya menunjukkan semangat nasionalisme dilarang semata-mata karena posisi politik sang penulis. Dia juga menambahkan adanya horizontal censorship yang dilakukan oleh organisasi masyarakat, pemuka agama, tokoh tertentu, termasuk sesama penulis.

img_20160507_101845.jpg

left-right : Sanaz Fotouhi, Kristian Sendon Cordero, Dini Pandia, John McGlynn

Adanya penerjemahan karya tentu tak lepas dari permintaan pasar. Di Filipina, terjemahan yang cukup populer di antaranya The Little Prince dan The Metamorphosis (Kafka) yang diminati kalangan muda. Kebetulan Cordero sendiri yang menerjemahkan Kafka ini, dan dia menggunakan dua bahasa nasional untuk mewakili bahasa manusia dan bahasa serangga (Gregor Samsa sebelum dan setelah menjadi serangga). Ini adalah salah satu cara untuk menarik pembaca yang lebih luas. Sedangkan karya-karya Kahlil Gibran saat ini lebih sulit dijual ketimbang dulu. Penerbit GPU masih melihat buku romance dengan konten seksual sebagai terjemahan yang paling laku dijual. Sedangkan Lontar memiliki strategi khusus untuk menjual terjemahan sastra Indonesia ke luar negeri, yaitu dengan melabeli buku/penulis agar lebih menarik. Misalnya Eka Kurniawan, sebagus apa pun tulisannya, dia hanyalah satu di antara penulis asing yang jarang sekali diminati oleh warga Amerika yang menjual jauh lebih banyak karya penulis lokalnya. Namun dengan memberi label ‘young, beautiful, and talented author’, membuat Eka memiliki daya tarik tersendiri hingga pembaca Amerika mau mencoba membacanya.

Untuk menjangkau pembaca yang lebih luas, penerjemahan juga dilakukan ke dalam bahasa selain Inggris. Sayangnya di Indonesia masih sedikit penerjemah untuk bahasa asing non-Inggris. Ketiga narasumber sepakat bahwa terjemahan tidak semata-mata mengubah dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Terjemahan bukan hanya mengadopsi karya sastra, tetapi juga apa yang dikandung di dalamnya. Terjemahan seharusnya dianggap sebagai karya tersendiri, karena menerjemahkan membutuhkan pemahaman akan akan teks, nilai, budaya, dan lain sebagainya. Apalagi sastra yang seringkali memiliki makna berlapis, belum tentu terjemahan yang apa adanya dapat menyampaikan maksud penulis dengan tepat. Itulah mengapa menerjemahkan karya penulis yang masih hidup relatif lebih mudah ketimbang penulis yang sudah meninggal. Pada penulis hidup, penerjemah dapat membuat perubahan agar maksudnya tetap sama dengan aslinya, meskipun itu harus mengubah teks, karena teks yang sama belum tentu memberi efek yang sama dalam budaya bahasa yang berbeda. Lain halnya dengan karya penulis yang sudah meninggal, karya ini mau tidak mau harus diterjemahkan apa adanya.

Menurut McGlynn, bahasa Indonesia adalah bahasa verbal dan mudah sekali membentuk rima, sehingga setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, sastra Indonesia perlu dibaca keras-keras untuk mempertahankan efek itu. Akan tetapi, hasil terjemahan yang menyasar pembaca berbahasa Inggris harus tetap terasa seperti buku berbahasa Inggris. Di Filipina, Cordero membaca buku yang akan diterjemahkan dengan pemikiran lokal sehingga bisa menyentuh pembaca lokal. Ditambahkannya bahwa terjemahan yang indah biasanya tidak ‘jujur’, karena terjemahan yang jujur alias apa adanya tidak akan tampak indah.

Masih mengenai merangkul pembaca yang lebih banyak, beberapa penulis memilih menulis dalam bahasa Inggris untuk memotong proses penerjemahan, meski itu bukan bahasa ibunya. Di Filipina, penulis semacam ini belum pernah berhasil. Menurut McGlynn, nilai para penulis Indonesia adalah karena mereka menulis dan berbicara dalam bahasa Indonesia. Dengan menulis dalam bahasa Inggris, penulis Indonesia menjadi ‘biasa saja’, menjadi satu di antara sejuta. Menurutnya tidak ada jalan pintas dalam industri perbukuan. Seorang penulis harus populer di negaranya sendiri jika dia menginginkan pembaca dari luar negeri. Penerjemahan secara tandem bisa menjadi jalan cepatnya, baik secara langsung atau menggunakan bahasa Inggris sebagai ‘jembatan’. Menulis dalam bahasa asing dengan menerjemahkan buku ke bahasa asing adalah dua hal yang berbeda.

Mengenai pemilihan buku yang akan diterjemahkan, Cordero lebih berdasarkan ketertarikan personal, sehingga dia bisa menyebarkan kecintaan terhadap suatu karya kepada orang-orang yang tidak memiliki akses atau pendidikan di kelasnya (dia juga seorang pengajar sastra). Hampir serupa, GPU juga mempertimbangkan selera pribadi yang disesuaikan dengan pasar, dan tidak lupa memilih penerjemah yang tertarik dengan genre tersebut sehingga hasil terjemahan akan relatif lebih memuaskan. Sedangkan Lontar biasanya menerjemahkan buku yang dinilai baik oleh para kritikus sastra, dan/atau yang menarik bagi penerjemahnya.

Pada akhirnya, sebagaimana selalu disinggung sebelumnya, buku terjemahan mau tidak mau berhubungan dengan pasar. Tanpa adanya pembeli/pembaca, penerjemah tidak bisa hidup, karena sebagian besar waktu harus mereka curahkan untuk menerjemahkan. Seberapa besar penerbit dapat membayar penerjemah? Idealnya tarif penerjemah full-timer adalah sesuai dengan biaya hidup yang mereka perlukan selama mereka mengerjakan terjemahan, tetapi pada praktiknya tarif itu jauh di bawah yang seharusnya. Inilah salah satu kendala dalam industri perbukuan, terutama Lontar yang menerbitkan buku-buku yang ‘sulit dijual’. Oleh karena itu mereka tidak menjual dengan cara tradisional dengan distribusi ke toko buku yang memakan biaya banyak, tetapi cenderung menggunakan metode print on demand. Cordero dan mbak Dini sepakat bahwa cover buku adalah salah satu investasi untuk ‘menjual’ suatu buku. Termasuk jika buku tersebut difilmkan, GPU menggunakan momen tersebut untuk meraih pasar. Bicara tentang cover, mbak Dini sempat memberi bocoran bahwa tahun depan akan ada terbitan ulang Harry Potter dengan cover karya ilustrator lokal.

Meski diawali dengan ‘tenang-tenang saja’, diskusi ini pun akhirnya diwarnai dengan tanya-jawab maupun sharing yang cukup seru dari para audience. Tema yang sangat menarik dan membuka wawasan, yang sedikit banyak menunjukkan juga ‘mahalnya’ sebuah idealisme. Dan sekali lagi mengingatkan betapa besarnya jasa penerjemahan terhadap wawasan perbukuan kita. Saya jadi ingat post yang bagus dari Listra di sini. Sebagai pembaca, semakin lama saya juga semakin sadar ‘mahalnya’ sebuah buku yang diterjemahkan secara ‘ideal’.

Lihat juga Oleh-Oleh Part 1/4 & Oleh-Oleh Part 2/4.

5 responses to “On Translating (Oleh-Oleh ALF 2016 Part 3/4)

  1. Aku jadi ingat obrolan di grup IWLEB, kebanyakan lebih memilih baca versi asli ketimbang terjemahan, karena dirasa ada bagian yang hilang di terjemahan (lost in translation) atau penerjemahannya tidak lancar, kaku, tidak enak dibaca dll. Sebagai orang yang pernah mencoba menerjemahkan buku, memang menerjemahkan yang bagus itu susah ya!

    Eniwei, ini dirimu mencatat atau merekam acaranya, Zee? Bisa detail gitu 😀

    • Iya, tapi penerjemahan masih sangat perlu. Sama seperti kita masih perlu terjemahan untuk karya2 dalam bahasa bukan Inggris dan bukan Indonesia. Aku mencatat, Ren, untungnya lagi ga malas jadi bisa detail dan bisa di-blog-kan (meski terlambat, hehe)

  2. Pingback: Sapardi X Jokpin (Oleh-Oleh ALF 2016 Part 4/4) | Bacaan B.Zee

  3. Hahaha, proverb-nya orang Rusia itu lho….LOL banget. Kalo versiku sih, terjemahan itu seperti cowok: kalo ganteng pasti playboy, dan kalo ga playboy pasti ga ganteng, wkwkwk.

    Btw, artikelmu kali ini mengena banget di hatiku. Emang bener, tanpa pasar/pembaca terjemahan, orang-orang kayak aku ini mau makan apa???? Hiks. Dan aku mau sekalian membela diri nih: sejelek-jeleknya hasil suatu terjemahan, yang jelas kita penerjemah udah berusaha keras. Paling ga aku lah, yg rela tanya2 bu dokter soal istilah2 kedokteran (hahaha, jadi inget dulu).

    Thanks ya Zee, buat laporannya. Btw, quote2 itu dapet di mana? Mengena di hati semua…

    • Haha, 11-12 lah ya proverb nya. Ya, masalahnya kalo berkaitan dgn pasar, konsumen kan cuma melihat hasil akhir, ga tahu prosesnya.
      Quote nya aku google, iya banyak yg bagus yaa makanya sampe bertebaran 🙂

Leave a reply to bzee Cancel reply