Tag Archives: (writer) Aya Kito

1 Liter of Tears – Aya Kito

Judul buku : 1 Liter of Tears (1 Liter No Namida)
Penulis : Aya Kito (© Shioka Kito, 2005)
Penerjemah : Endang Marina
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tebal buku : 160 halaman

Pengalaman pahit adalah jalan menuju kedewasaan. Kalau kita berhasil melewatinya, hal-hal yang menakjubkan akan muncul. (p.13)

Buku ini merupakan kumpulan catatan harian Aya Kito sejak berusia empat belas hingga dua puluh tahun. Dikatakan bahwa seluruhnya ada 46 buku, jadi kemungkinan buku setebal 160 halaman ini tidak memuat semuanya.

Oleh karena ini catatan harian, maka saya tidak akan mempermasalahkan penulisan, termasuk penerjemahannya. Selain catatan harian Aya, di akhir juga terdapat sedikit catatan dari ibunya, Shioka Kito, juga dokter yang merawat Aya, Yamamoto Hiroko.

Suatu hari, saat dia sedang terburu-buru, dia merasakan lututnya lemah secara tiba-tiba, yang membuatnya jatuh dan melukai dagu serta bibirnya. Aya tidak menonjol dalam bidang olehraga. Semakin lama ibunya juga memperhatikan bahwa cara berjalannya berbeda. Akhirnya Aya dibawa ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan.

Meskipun telah diberi obat, perjalanan penyakit Aya tidak berhenti, bahkan terus memburuk. Aya didiagnosis dengan Spinocerebellar Ataxia.

Spinocerebellar Ataxia mengakibatkan timbulnya ketidakseimbangan dalam daya kerja saraf dalam tubuh. Akibatnya, sel saraf sumsum tulang belakang, otak kecil, dan penghubung otak besar-otak kecil mengalami perubahan dan bahkan kehilangan fungsinya. Belum diketahui apa yang menjadi penyebabnya. (p.126) [Dokter Hiroko]

Meski Aya berhasil lulus SMP, kemudian lulus dalam tes masuk SMA Negeri, serta memiliki prestasi akademik yang memuaskan, namun keterbatasan geraknya menghambat dia untuk meneruskan sekolah bersama anak-anak ‘normal’. Maka selepas satu tahun di SMA, Aya dipindahkan ke SLB.

Kepindahan Aya ke SLB ternyata tidak membuat kehidupan sosialnya lebih baik. Sebagian besar guru masih menuntut kecepatan dan kelincahan, hal yang justru adalah masalah terbesar gadis itu. Kelemahan demi kelemahan yang muncul membuat Aya semakin putus asa. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, karena semangat selalu datang dari ibunya, ayahnya, adik-adiknya, teman-teman maupun pasien lain yang bernasib sama dengannya. Bahkan juga dari dokternya, perawat dan dokter muda yang belajar di rumah sakit tempat Aya beberapa kali dirawat.

Di sini kentara sekali peranan ibunya dalam merawat maupun memberi semangat pada putri sulungnya itu.

“Masa lalu tak akan pernah terhapus dari ingatan setiap orang.” Mengapa Ibu berkata seperti itu?
“Karena kita mengalami berbagai pengalaman. Ada yang manis, tapi tak sedikit pula yang pahit. Dalam setiap pengalaman, emosi kita juga ikut terlibat di dalamnya. Itulah sebabnya, hidup adalah perjuangan jiwa. Jika kita hidup tanpa menyesali apa pun, masa depan yang baik tidak akan terwujud.”
(p.29)

Bagian paling mengharukan adalah saat Aya sudah tidak mampu berjalan, dan terpaksa dia merangkak untuk kembali ke kamarnya. Saat itu dia melihat ibunya ikut merangkak di belakangnya, sembari memberi semangat.

Singkatnya, catatan harian ini berisi kisah jatuh bangun Aya Kito dalam menghadapi penyakitnya. Sampai pada titik dimana dia sudah tidak bisa menulis lagi. 4/5 untuk catatan penuh air mata.