Gone With The Wind – Margaret Mitchell

Review in Bahasa Indonesia and English

Judul buku : Gone With The Wind (Lalu Bersama Angin)
Penulis : Margaret Mitchell (1936)
Penerjemah : Sutanty Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Juni 2009 (cetakan kedua)
Tebal buku : 1124 halaman

“Ya, sekarang hidup memang terasa gemerlap—atau semacam itulah. Justru itu masalahnya. Hari-hari silam dulu tidak gemerlap, tapi menyimpan pesona, keindahan, keelokan yang tenang…” (p.1004)

Perang tidak membawa kebaikan tanpa penderitaan bersamanya. Mungkin itulah salah satu hal yang ingin disampaikan Mrs. Mitchell dalam karyanya ini. Pada bulan April 1861, hidup tampak tenang dan bahagia bagi Scarlett O’Hara. Dikelilingi oleh laki-laki yang memujanya, atau bahkan mengejar laki-laki yang akan bertunangan dengan wanita lain tampak kecil dibandingkan apa yang terjadi kemudian. Pada bagian pertama buku ini, kita diperkenalkan pada masa-masa silam yang tenang dan mempesona di Georgia, sampai pecah perang yang menuntut para lelaki mereka untuk mengangkat senjata. Pertentangan antara orang Selatan dan Utara sudah tak terelakkan lagi.

Mei 1862, dengan status sebagai janda Hamilton, Scarlett memulai kehidupan baru di Atlanta. Bagian kedua menyuguhkan penderitaan selama perang, para prajurit terluka, kematian, dan kerugian materi—dari sudut pandang rakyat Selatan. Namun, perang tidak mengubah Scarlett, dia masih seorang wanita keras kepala yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Hanya Rhett Butler yang dapat membaca kedalaman pikiran Scarlett, karena itu pula dia selalu tahu apa yang harus dilakukannya dengan wanita itu, termasuk keinginan ‘tak pantas’ yang membuat mereka berdua menjadi bahan pembicaraan seisi kota.

Mei 1864, perang belum berakhir, justru bertambah buruk. Pasukan selatan semakin terdesak hingga di ambang kekalahan. Bagian ketiga inilah kita dapat melihat titik balik Scarlett. Bukan perang yang mengubahnya, tapi kehilangan, kemiskinan, kekurangan, dan kelaparan yang membuatnya menjelma menjadi wanita yang kuat dan pekerja keras.

Masa rekonstruksi tidak semakin mudah. Oleh karena menjadi pihak yang kalah perang, orang-orang Selatan diperas dan ditindas. Januari 1866 mengawali bagian empat dengan pajak yang semakin mencekik. Uang sulit didapatkan, pihak Utara yang memegang kekuasaan menjadikan kaum Negro bebas sebagai senjata mereka. Orang-orang Selatan yang memihak pada Konfederasi sebelum perang tidak memiliki hak pilih, sebaliknya orang Negro yang tak berpendidikan memiliki hak pilih. Orang Utara mengambil hati kaum Negro dengan berusaha memperjuangkan hak-hak mereka, hak untuk bebas melakukan apa saja pada kaum kulit putih, mereka dilindungi meski melakukan pencurian atau pelecehan sekalipun. Orang-orang Selatan mencoba bangkit dengan bekerja—sekeras yang mereka bisa meski hasilnya tak seberapa, tetapi Scarlett menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip hidup mereka sebelum perang. Dia berhasil, tapi tak ada orang Selatan yang menyukainya, kecuali Melanie Hamilton—Mrs. Wilkes, yang luar biasa itu. Satu-satunya orang dalam buku ini yang dapat melihat sisi baik dari seseorang, tak peduli keburukan apa yang dilihatnya, dia seolah memiliki alibi untuk orang yang disayanginya.

Pada bagian terakhir, dimana Scarlett telah resmi menjadi Mrs. Butler, kehidupannya menjadi lebih mapan secara finansial. Namun, pergaulannya dengan orang Utara yang sebagian besar bukan orang baik-baik—termasuk oportunis seperti suaminya, membuatnya semakin terkucil dari kaumnya sendiri. Scarlett tidak mengubah kekeraskepalaannya, dia tetaplah Scarlett O’Hara. Suatu hari, terjadi skandal antara dirinya dengan Ashley Wilkes—pria yang dikejar-kejarnya sejak dari awal buku ini. Kebodohannya pun baru dia sadari saat semua sudah terlambat, hanya Melanie yang masih sama. Semua orang di sekitarnya—yang baru dia sadari artinya, menghilang satu per satu. Apakah Scarlett bisa diterima kembali dan memperoleh kebahagiaan yang sebenarnya?

Perjalanan panjang menuntaskan ratusan halaman ini memberikan banyak pelajaran untuk saya, meski dengan cara yang tidak menyenangkan, sama seperti perang itu sendiri. Latar belakang historis dalam buku ini adalah perang saudara di Amerika Serikat, yang saat itu terpecah dalam Utara dan Selatan. Pihak Selatan yang masih menganut sistem perbudakan menganggap cara hidup mereka wajar, toh budak-budak itu berkecukupan tak kurang suatu apa pun. Kaum Negro yang memilih untuk setia pada majikan mereka setelah perang pun menganggap bahwa hidup bebas bukan pilihan untuk mereka. Kebebasan tak membuat mereka kenyang, kebebasan tak menjamin mereka hidup nyaman dan mereka tak yakin bisa mengambil keputusan sendiri untuk hidup mereka. Kenyataan yang ditunjukkan dalam buku ini juga demikian, bahwa kaum Negro yang memilih bebas adalah mereka yang malas bekerja, hanya mengandalkan kebaikan orang kulit putih, atau bahkan melakukan tindak kejahatan. Orang Utara yang membebaskan mereka tak terlihat berupaya membuat kehidupan mereka lebih baik. Saat orang Selatan mempercayakan pengasuhan anak mereka pada orang Negro—seperti Mammy yang mengasuh seluruh putri O’Hara, menganggap pelayan Negro mereka seperti keluarga, sebaliknya orang Utara tak mau mempekerjakan mereka sama sekali. Dalam suatu bagian ditunjukkan rasa jijik mereka jika anak-anak mereka disentuh oleh orang Negro. Saya rasa itulah kelemahan dari sistem yang diberlakukan oleh orang Utara, mereka memperjuangkan kebebasan, tapi tak memikirkan dampak kebebasan itu untuk mereka.

At the end of this reading, many things came across my mind. I’ve written what happened at Part 1-4 before. Part 1 was more about introduction of Scarlett O’Hara and the way of Southerners life. American Civil War described further at Part 2—from the Southerners point of view, especially in Atlanta, the center of Southerners activities. Part 3 was the most intriguing part, war has given its effects to Scarlett. She was changed, we were shown of her power and toughness during the most critical time. And at Part 4, reconstruction era happened, brought more suffers to the side that was lost at war.

Part 5—the last part, showed how Scarlett’s life became better at financial. But she was losing all her pride as a proud Southerner. She has married with Rhett Butler and made friend with other opportunists, not being less stubborn and naive. Her scandal with Ashley Wilkes revealed, and one by one, people that—she’s just realized—were meaningful to her, left her. What would she do, and would she get the real happiness after all?

This was a hard reading, actually. I haven’t realized it after I got half of second part. This book was beyond my expectation, and I was so glad I could finished it because I read it together with other GWTW Read Along participants. However, I’ve got a new perception about slavery and American Civil War from the White Southerners point of view. I found that slavery wasn’t all about sufferings and exploitations, according to Mrs. Mitchell’s explanation. I believe that from another point of view I could see the bad side of slavery, because all people have their own reasons to do something. A good thing for one person may be a bad thing for another. The war itself that made more sufferings and more chaos, but that’s one reason for people to be developed, to be better through hard times.

Salah satu kesulitan saya dalam membaca buku ini adalah gaya penulisannya. Pada mulanya saya menikmati setiap detail suasana dan peristiwa yang digambarkan oleh Mrs. Mitchell. Akan tetapi lama-kelamaan hal itu semakin membosankan, rasanya suatu ketika Scarlett telah mengalami suatu kesadaran akan sesuatu hal, kemudian beberapa bab kemudian penjelasan tentang kesadaran yang sama diulang kembali. Mungkin saya lebih menyukai penjelasan singkat yang terbuka, yang membuat kita berpikir, ketimbang penjelasan panjang lebar yang diulang-ulang—yang toh tak memiliki kaitan yang terlalu penting dengan kisahnya. Saya merasa bahwa seribu sekian halaman itu bisa dipersingkat menjadi separuhnya, yang mungkin akan lebih menarik, karena kita tidak akan kehilangan inti cerita.

Meski demikian, saya tidak bisa tidak salut dengan Mrs.Mitchell yang berhasil membuat kisah sedemikian runtut dan konsistennya. Dia bisa menciptakan karakter yang sedemikian stabilnya, yang dapat dia putuskan kapan dan kejadian apa yang bisa mengubah seseorang, atau kapan dan kejadian apa yang tidak bermakna apa pun dalam kehidupan orang tersebut. Mungkin sebagian besar adalah orang yang pernah ditemuinya—atau bahkan dirinya sendiri. Begitu pula gambarannya atas suatu kota atau peristiwa sebegitu hidupnya hingga gambar-gambar yang muncul di kepala saya saat membacanya begitu jelas seperti menonton sebuah film.

To be honest, though I felt that the way of Mrs. Mitchell’s writing was too wordy—too many repetitions, that often made me bored, I think she was brilliant at describing and explaining scenes. It was like watching a movie clearly in my head, just by reading it. I gave this book 4/5 stars for that reason.

Today is Mrs. Mitchell’s 112th birthday. I present her this review of her Pulitzer Prize winning book. What an impressive two months reading.

I had every detail clear in my mind before I sat down to the typewriter.

—Margaret Mitchell

All reviews from GWTW Read Along participants get the opportunity to win my giveaway. Put your review link here.

Review #8 of Classics Club Project

21 responses to “Gone With The Wind – Margaret Mitchell

  1. iya waktu baca buku GWTW ini,,aku jadi mikir lagi soal persepsi orang utara ttg perbudakan. Krena sebelumnya aku baca Uncle Tom’s Cabin yang menunjukkan persepsi orang utara ttg perbudakan di selatan. Dua pemahaman yg berbeda antara Margaret Mitchell dan Harriet Beecher Stowe 😀

  2. to be honest: aku banyak skip.. dan pernah pas masih mentok di halaman 200an, aku langsung ke endingnya. tapi sih, diulangi lagi dari halaman terakhir baca di mana… abisnya kesel bertele-tele 😀
    tapi aku ngasih 4 gegara apa, ya? oh, gegara jadi tau Perang Sipil Amerika! mwahahaha… absurd emang alasannya… 😀

  3. Legaaa akhirnya boleh terbebas dari Scarlett selamanya!
    Buku paling mengecewakan sepanjang tahun 2012 ini karena aku merasa gak dapat banyak dari membaca buku setebal itu (=wasting time). One thing I learned from this, DO NOT ever try to read books just because everyone said they’re good; trust your own intuition!

    • Tapi khusus buku ini kayanya k’ fanda (atau cuma aku?) ga akan puas kalo ga nyoba baca sendiri, ya minimal beberapa halaman pertamanya. 🙂

  4. iya, penjabarannya terlalu detail, ak juga kadang bosan makanya banyak yang aku baca kilat mb 🙂

  5. Pingback: Character Thursday (24) « Bacaan B.Zee

  6. yay, another ‘very sexy book’ already move from TBR Pile List 😀 it’s so relieve …. as much I like aboutAmerican Civil War, this book gonna put back on my bookshelf, and it would be there for the time being (not gonna be re-read sometimes soon), I prefer Uncle Tom’s Cabin, even March by Geraldine Brooks a little bit dissappointment for me.

  7. Aku nonton filmnya duluan seblom baca bukunya. Jadi pas baca bab demi bab semuanya tergambar jelas. Untungnya juga banyak detail di film yang aku dah lupa. Yah, dari filmnya cuman ingat ma awal dan endingnya sih. Jadi nggak merusak keasyikan baca.

    Aku sih ngasih 4/5 tidak lain karena sejarahnya. Seperti Scarlett yang dulunya terobsesi ma Ashley, Aku jadi terobsesi ma civil war XD

  8. Pingback: Gone With The Wind Read Along : Your Reviews & The Winner « Bacaan B.Zee

  9. Pingback: First Year Update of The Classics Club Project | Bacaan B.Zee

  10. fiuh… fiuh… habis nonton filmnya, EMPAT keping CD cuy!!! eh, tapi keren loh… agak2 berbau romance tapi, hehehe

    • iyaa, bukunya juga bau romance kok

    • kak erdeka, boleh tau beli filmnya dimana ya?? kalo 4 CD itu durasinya jadi berapa?? setau aku durasi filmnya kurang dari 3 jam deh. aku pengen nonton yang mini seri nya….

      • Kalo yang aku tonton emang 4 CD dan durasinya 4 jam. Film lawas banget yg jadi Vivien Leigh kalo ga salah. Aku sendiri ga beli, cuma nyewa di persewaan film :p

  11. Pingback: #5BukuDalamHidupku : Berkat BBI | Bzee's Inner Space

  12. Pingback: Galbraith, Rowling, Cormoran Strike, dan Perempuan | Bacaan B.Zee

Leave a comment