Tag Archives: Jane Marple

4.50 from Paddington – Agatha Christie

Title : 4.50 from Paddington (Kereta 4.50 dari Paddington)
Author : Agatha Christie (1957)
Translator : Lili Wibisono
Publisher : Gramedia Pustaka Utama
Edition : Cetakan keenam, Agustus 2007
Format : Paperback, 344 pages

Saat dalam perjalanan kereta 4.50 dari Paddington, Elspeth McGillicuddy melihat kejadian luar biasa dari kompartemennya. Saat sebuah kereta berjalan sejajar dengan keretanya, dia melihat seorang laki-laki mencekik wanita hingga tewas, dari jendela yang tirainya tak sengaja terkuak. Mrs. McGillicuddy pun melaporkan hal ini ke kepala stasiun, sampai ke polisi, tapi tak ada yang bisa melakukan apa pun karena tak ada laporan penemuan mayat maupun hilangnya seorang wanita. Bahkan mereka menganggapnya mengkhayalkan kejadian tersebut. Hanya sahabatnya—sekaligus detektif kita—Jane Marple yang memercayainya. Miss Marple pun menjalankan strateginya untuk menyelidiki pembunuhan tersebut, dimulai dengan mencari mayat wanita itu.

Semua orang di St. Mary Mead kenal Miss Marple; wanita yang kelihatannya ruwet dan suka bingung, padahal otaknya tajam dan sangat rasional. (p.24)

Miss Marple menyelidiki jalur kereta api yang dinaiki oleh Mrs. McGillicuddy, juga kereta satunya dimana terjadi pembunuhan, untuk memperkirakan dimana mayat tersebut dibuang atau disembunyikan. Setelah segala kemungkinan diselidiki, dengan bantuan dari polisi–dan tidak ditemukan hasil, Miss Marple menggunakan caranya sendiri. Dia menyewa seorang wanita bernama Lucy Eyelesbarrow untuk mengerjakan pekerjaan yang tak diizinkan oleh tubuh tuanya. Miss Eyelesbarrow adalah seorang wanita cekatan yang mau dan bisa mengerjakan apa saja, dia berhasil mendapat pekerjaan di sekitar tempat yang dicurigai Miss Marple dan memula pencarian.

Rumah tempat Miss Eyelesbarrow bekerja tak kalah menariknya. Rutherford Hall, rumah yang ditinggali oleh Mr. Crackenthorpe bersama putri satu-satunya—Emma. Putri tertuanya telah meninggal dan meninggalkan seorang putra, sedangkan putra tertuanya juga telah meninggal, menyisakan tiga anak laki-laki sisanya. Ayah dari Mr. Crackenthorpe kaya raya, namun karena suatu hal dia tidak meninggalkan warisan untuk putranya, melainkan kepada cucu-cucunya. Mr. Crackenthorpe hanya mendapatkan bunga dari investasi ayahnya, yang meski cukup banyak, tetap tak berarti apa-apa dibandingkan harta yang tak bisa dimilikinya. Hubungan Mr. Crackenthorpe dengan ketiga putranya juga tak begitu baik. Maka saat bukti-bukti mengarah ke Rutherford Hall, mau tak mau, keluarga ini masuk dalam daftar yang harus diselidiki.

Berdasar keterangan dari Dokter Quimper, dokter keluarga mereka, Mr. Crackenthorpe sering mengalami masalah pencernaan, yang dicurigainya sebagai keracunan arsenik dalam dosis yang kurang mematikan. Sementara ketiga putranya dalam kondisi keuangan yang bermasalah. Namun apakah ini berhubungan dengan pembunuhan wanita di kereta tersebut? Dapatkah Mrs. McGillicuddy mengidentifikasi pembunuh yang hanya dilihatnya dari belakang? Apakah ini masalah dalam keluarga, atau ada orang yang memanfaatkan konflik keluarga Crackenthorpe demi kepentingannya?

Penyelidikan ini tak mudah, karena selang antara penemuan mayat dan kejadian pembunuhan lumayan lama. Tak ada saksi mata yang mengingat persis alibi para tersangka, dan tak ada bukti-bukti tersisa yang mendukung. Namun, apa yang dilakukan Miss Marple, sedikit demi sedikit, dari fakta yang sangat sederhana, termasuk luar biasa.

“Jadi, Anda bayangkan apa yang Anda lakukan seandainya Anda pembunuh keji berdarah dingin?” kata Craddock menimbang-nimbang sambil memandangi Miss Marple yang tampak begitu rapuh dan lemah lembut. “Wah, imajinasi Anda…”
“Kotor seperti bak cuci piring, begitu Raymond kemenakan saya biasa bilang,” Miss Marple mengiyakan sambil mengangguk sekilas. “ Tapi seperti yang sering saya katakan kepadanya, bak cuci itu perlengkapan rumah tangga yang amat penting dan sebenarnya sangat bersifat higienis.”
(p.137)

Bersiaplah membaca sebuah kisah pembunuhan dan rangkaian kejahatan yang ‘sejati’, yang murni karena orang tersebut ‘jahat’, tak berperasaan, atau apa pun namanya.

“Bahwa akan terjadi pembunuhan lagi? Oh, saya harap tidak, Nak. Tapi siapa tahu? Kalau ada seseorang yang betul-betul jahat, maksud saya. Dan saya kira dalam kasus ini ada sifat jahat yang teramat sangat.”
“Atau kegilaan,” kata Lucy.
“Tentu saja saya tahu, begitulah orang modern memandang sifat jahat, saya sendiri tidak setuju.”
(p.285)

Mungkin karena itulah kasus ini menjadi sulit dan memiliki banyak tersangka. Kejahatan yang direncanakan dengan matang demi suatu tujuan apa kiranya dapat memaksa orang berbuat demikian. Terlalu cepat menyimpulkan pembunuhan sebagai kegilaan dapat menjadi bias bagi penilaian, menjadikan pembenaran bagi sebuah kejahatan. Apalagi setelah mengetahui pembunuhnya, rasanya tidak boleh ada ampun untuk orang jenis ini. Saya setuju sekali dengan pernyataan Miss Marple di atas, juga kata-kata Dokter Quimper, bahwa orang sekarang (bahkan lebih dari lima puluh tahun lalu sudah terjadi), terlalu mudah mendiagnosis diri sendiri maupun orang lain dengan gangguan kejiwaan.

“Ilmu kejiwaan boleh-boleh saja, selama kita serahkan saja pada ahli jiwa. Susahnya, sekarang ini setiap orang adalah ahli jiwa amatir. Pasien-pasienku selalu mengatakan kepadaku kompleks dan gangguan jiwa apa yang sedang mereka derita, tanpa memberi aku kesempatan untuk mengatakannya kepada mereka.” (p.174)

Dalam kisah ini, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga, sehingga pembaca bisa dengan leluasa melihat apa saja yang dilakukan dan dipikirkan oleh para tokoh dalam buku ini. Namun kepiawaian Agatha Christie meramu fakta mana yang perlu disampaikan, kalimat-kalimat ambigu yang digunakan untuk menyembunyikan petunjuk, serta jebakan-jebakan halus membuat petunjuk yang bertebaran menjadi sedikit bias dan mengecoh.

Sepanjang membaca buku ini, saya merasa berhasil dibawa kemanapun penulis ingin membawa opini saya. Beberapa kali kecurigaan diarahkan ke seseorang, beberapa kali pula bukti itu dipatahkan. Hingga saat halaman-halaman akhir pun—meski tahu bahwa kalimat-kalimat tersebut menjebak—Christie meramunya dengan sangat apik. Pemaparan panjang lebar yang pada mulanya tampak tak berhubungan pun menjadi relevan, di samping ‘selingan’ lucu tentang Miss Eyelesbarrow dengan para pria Crackenthorpe.

4/5 bintang untuk kecerdikan Miss Marple.

Review #6 for Mystery Reading Challenge 2013

Review #2 for Agatha Christie Read Along