Tag Archives: (writer) Anastasia Aemilia

Katarsis – Anastasia Aemilia

KatarsisJudul : Katarsis
Penulis : Anastasia Aemilia (2013)
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Edisi : Cetakan pertama, April 2013
Format : Paperback, 264 halaman

Tara Johandi adalah salah satu keluarga Johandi yang ditemukan hidup setelah serangkaian pembunuhan yang terjadi di dalalm rumah itu. Tara ditemukan dalam kotak perkakas, terkurung dan tak bisa apa-apa. Setelah ditemukan, Tara dirawat di rumah sakit jiwa (RSJ) untuk pemulihan.

Kisah bergulir kembali ke masa lalu Tara sebagai gadis yang ‘tidak biasa’. Dia digambarkan menyukai kekejaman dan darah. Dia membenci orang tuanya, membenci namanya sendiri, membenci segala sesuatu yang bertentangan dengan dia. Naluri ‘pembunuh’ telah ditunjukkannya dalam usia belia, sangat belia. Ibunya meninggal saat dia berusia lima tahun, atas campur tangannya. Di usia lima tahun juga dia bertemu anak laki-laki bernama Ello, yang memberinya sebuah koin lima rupiah yang selalu digenggamnya saat dia merasakan sakit. Ello dan koin lima rupiah akan membawa kisah yang lain di masa kini, sekitar tiga belas tahun kemudian.

Sebelum kisah itu dimunculkan, kita ditunjukkan perubahan Tara pasca dirawat di RSJ oleh dr. Alfons, yang kemudian diberi perawatan lanjutan di rumah sang dokter. Tara yang dingin, kejam, tak beremosi menjadi lebih sensitif dan mulai melihat halusinasi berwujud monster bersayap. Kemunculan Ello saat ini memberi nuansa cinta segitiga antara Ello, Tara dan Alfons. Tara yang tak menyadari Ello adalah anak yang dulu memberinya koin lima rupiah tak menyadari bahwa dia dan Ello memiliki persamaan, Ello dengan Tara yang dahulu. Kotak perkakas dan koin lima rupiah mulai menunjukkan hubungannya.

Sebenarnya novel debut penulis ini memiliki premis yang menjanjikan. Ide yang luar biasa, dipadu dengan penulisan yang memukau, membuat kita bisa merasakan ketegangan di setiap babnya. Penggambaran karakter begitu hidup, alurnya cukup rapi dan mudah diikuti, meski menggunakan alur maju-mundur. Penggunaan sudut pandang orang pertama juga memberi nuansa ‘dingin’ yang pas pada karakter Tara, setidaknya di awal. Namun sayangnya masih banyak lubang dalam buku ini. Tak ada penjelasan atau penggambaran yang masuk akal tentang mengapa Tara menjadi anak yang seperti ‘itu’, seolah dia telah menjadi begitu haus darah sejak lahir, tak ada pemicu, tak ada provokasi. Atau kalau tragedi kecelakaan itu dianggap sebagai titik awal, itu hanya titik awal ‘kesadaran’ Tara, bukan munculnya sifat itu.

Ada juga lubang-lubang logika dan salah kaprah yang mungkin sepele, tapi jelas terlihat jika pembaca adalah orang yang jeli, atau kebetulan berada di bidang yang dibahas itu. Saya kurang bisa menangkap pendekatan yang dilakukan Alfons terhadap Tara. Kalau pun Alfons belum bisa melihat sisi berbahaya Tara, tetap saja tak ada dokter yang begitu baiknya membawa pasien yang belum ditegakkan diagnosisnya untuk tinggal bersamanya. Tindakan yang sangat berisiko dan tidak profesional. Yah, memang beribu alasan bisa dibuat sebagai pembenaran, tapi bukan berarti alasan itu menjadi jaminan bahwa lubang-lubang itu bisa tertutup sempurna.

Dalam perjalanan dari ruang autopsi ke kantor polisi, aku mengetahui bahwa Jerry bukan ahli forensik. Dia hanya dokter yang kebetulan juga lulus sekolah forensik dan melanjutkan di bidang kedokteran jiwa sehingga mendapatkan gelarnya sebagai psikiater pada tahun yang sama dengan Alfons. (hal.237)

Apakah ‘lulus sekolah forensik’ tidak cukup untuk menjadikan seseorang dikatakan ahli forensik?

Sejauh lebih dari setengah buku ini, saya hampir memberikan empat bintang karena saya sangat terbawa oleh kisah ini. Saya berharap bahwa kejanggalan-kejanggalan yang ada bisa ditutup oleh ending yang jauh lebih memukau dan tak terduga. Akan tetapi ternyata lubang-lubang itu semakin lebar, cukup menelan satu bintang, sehingga terpaksa saya berikan 3/5 bintang. Bukan awal yang buruk.

CaptureKatarsis

Review #3 for New Authors Reading Challenge 2013