Anne of Avonlea – Lucy Maud Montgomery

Review in English at the last words.

6512822Title : Anne of Avonlea
Author : Lucy M. Montgomery
Translator : Maria M. Lubis
Editor : Esti B. Habsari
Publisher : Penerbit Qanita
Edition : Cetakan III, November 2009
Format : Paperback, 432 pages

“Apa pun itu,” Anne pernah berkata kepada Marilla, “aku yakin hari-hari paling indah dan manis bukanlah hari-hari saat peristiwa yang sangat hebat atau menakjubkan atau menarik terjadi. Tapi, hari paling indah adalah ketika ada peristiwa yang membawa suatu kenikmatan kecil sederhana, satu demi satu, bagaikan butir-butir mutiara lepas dari seuntai benang.” (p.254)

Anne Shirley telah diangkat menjadi guru sekolah di Avonlea. Di samping itu, dia dan teman-teman pemuda desa Avonlea memiliki suatu Kelompok Pengembangan Desa, yang bertujuan untuk mengembangkan desa Avonlea, terutama dalam hal lingkungan dan infrastrukturnya. Kesibukan di Green Gables—tempat tinggalnya bersama Marilla Cuthbert—pun bertambah sejak kedatangan dua penghuni cilik, Davy dan Dora. Hal-hal itulah yang akan mewarnai kisah Anne di buku ini.

Buku kedua kehidupan Anne Shirley ini masih sama memesonanya dengan buku pertamanya (yang sayangnya belum sempat saya review di blog ini). Anne yang sudah lebih dewasa—untungnya—masih memiliki imajinasi tak terbatas yang menghibur dan pikiran positif yang menyejukkan. Kepolosan masa kecilnya masih tersisa, yang ditampakkannya dalam caranya memandang kehidupan. Sebisa mungkin dia memenuhi pikirannya dengan hal menggembirakan, saat ada celah untuk kesedihan masuk, dia akan melihat hal-hal bahagia yang menyertainya sehingga tak menjadi terlalu sedih.

Anne menahan keluh. Dia sangat menyayangi Diana dan mereka selalu menjadi teman baik. Namun, sejak lama Anne menyadari, jika ingin mengembara ke dunia fantasi yang penuh pesona, dia harus melakukannya sendirian. Jalan menuju ke dunia itu begitu penuh keajaiban, bahkan sahabat terdekatnya pun tidak akan mampu mengikutinya ke sana. (p.32)

“Tampaknya bagiku, Anne, kau tidak akan pernah bisa mengubah caramu mencurahkan segenap jiwamu dalam berbagai hal, mengharapkan hasil yang terbaik, kemudian hancur karena kecewa, karena kau tidak berhasil mendapatkannya.” (p.234)

Sebagai seorang guru, Anne juga memegang idealismenya dalam mendidik murid-muridnya. Cara-caranya merebut hati anak-anak yang ‘sulit’, caranya menghadapi murid-muridnya dengan kelembutan dan contoh yang baik, membuatnya menghadapi berbagai masalah, namun juga mengantarkannya pada hal-hal yang lebih baik. Salah satu murid yang terdekat dengan Anne adalah Paul Irving, yang baru pindah ke Avonlea untuk tinggal bersama neneknya karena ibunya sudah meninggal dan ayahnya tak bisa mengurusnya sendirian. Anne memiliki kedekatan yang berbeda dengan Paul karena kesamaan mereka yang suka berimajinasi. Paul yang baru berusia sebelas dua belas tahun dapat merangkai kata-kata berbunga-bunga yang indah, yang dikatakan Anne sebagai bakat seorang penyair.

Ekspresi wajahnya tampak serius seperti sedang bermeditasi, jiwanya bagaikan lebih tua daripada tubuhnya. Namun, saat Anne tersenyum lembut kepadanya, semua ekspresi itu menghilang dan berubah menjadi suatu senyuman balasan yang tiba-tiba tersungging. Senyuman yang menyinari keseluruhan sosoknya, bagaikan ada lampu yang tiba-tiba menyalakan cahaya di dalam dirinya, menyinari Paul dari puncak kepala hingga ujung kaki. Dan yang mengesankan, semua itu terjadi dengan spontan dan tulus, bukan karena usaha atau motif tertentu, sekelebatan penampakan kepribadian tersembunyi, yang langka, menyenangkan dan manis. Dengan pertukaran senyum sekilas itu, Anne dan Paul sudah menjadi teman untuk selamanya, bahkan sebelum ada sepatah kata yang terucap di antara mereka. (p.66)

Baik Anne maupun Paul mengetahui “Betapa Indahnya Dunia Imajinasi Saat Membukakan Rahasianya Padamu”, dan keduanya mengetahui jalan menuju dunia ceria tersebut. Ada mawar-mawar indah yang mekar abadi di lembah dan tepi sungai; awan-awan yang tidak pernah menggelapkan langit cerah; lonceng-lonceng merdu yang tidak pernah bersuara sumbang; dan belahan-belahan jiwa yang saling berhubungan. Pengetahuan akan tempat itu—“di sebelah timur matahari, di sebelah barat bulan”—adalah suatu pengetahuan yang tidak terhingga harganya, tidak bisa dibeli di toko mana pun. Pengetahuan itu pasti merupakan hadiah dari peri-peri baik hati saat mereka lahir, dan tahun-tahun yang berlalu tidak akan pernah bisa mengubah dan merenggutnya. Mereka merasa lebih baik punya imajinasi dan tinggal di loteng, daripada tinggal di istana nan indah, namun tanpa imajinasi. (p.206)

Semangat, kebahagiaan, dan pancaran kemudaan menjadikan Anne mudah disukai dan diterima oleh siapa saja, terutama para penghuni baru Avonlea yang notabene agak sulit diterima oleh penduduk lamanya. Misalnya tetangga barunya, Mr. J. A. Harrison yang perkenalan pertamanya dengan Anne tidak begitu baik, pada akhirnya bisa berteman baik dengan Anne melalui suatu pengertian. Meskipun itu harus melewati kemarahan-kemarahan yang konyol, kecerobohan khas Anne yang memalukan, dan ‘perang dingin’ dengan Ginger, burung beo pengumpat kesayangan Mr. Harrison.

“Kau pernah memerhatikan, tidak,” tanya Anne, “saat orang-orang berkata, sudah menjadi tugas mereka untuk memberi tahu sesuatu kepadamu, kau harus bersiap-siap menerima sesuatu yang tidak menyenangkan? Mengapa sepertinya mereka tidak pernah berpikir, sudah menjadi tugas mereka untuk memberi tahu hal-hal menyenangkan yang mereka dengar tentang dirimu?” (p.94)

“Tapi Anda tidak mengungkapkan seluruh kebenaran,” Anne membantah. “Anda hanya mengungkapkan kebenaran yang menyakitkan. Contohnya, Anda mengatakan kepadaku lusinan kali jika rambutku merah, tapi tak pernah sekali pun Anda berkata kepadaku, aku memiliki hidung yang cantik.” (p.116)

Kekuatan dari buku ini adalah deskripsi dan karakternya. Penulis mampu menggambarkan alam di Pulau Prince Edward dengan detail yang mudah dibayangkan, dengan bahasa yang indah. Karakter-karakter dalam buku ini pun memiliki kekuatannya masing-masing. Anne yang menampakkan perkembangan karakternya pasca setiap kejadian, bahkan kata-kata muluknya—yang merupakan ciri khasnya—dapat sangat dinikmati, sebagaimana kita menikmati deskripsi bunga-bunga yang mekar saat musim semi. Marilla Cuthbert yang mengadopsi dan membesarkan Anne; Mrs. Rachel Lynde, tetangga yang serba mengetahui gosip tetapi memiliki ‘sisi lain’ yang tak banyak diketahui orang; Gilbert Blythe yang tak banyak muncul tetapi cukup memberi sentuhan ‘cinta’ pada kehidupan Anne—meski belum sepenuhnya dia sadari; juga Diana Barry, sahabat terdekat Anne yang selalu setia, semuanya serasa sangat dekat dengan pembaca.

Selain karakter-karakter tersebut, yang telah muncul pada buku sebelumnya, banyak juga karakter baru yang tak kalah menariknya. Mr. J. A. Harrison, si kembar Davy dan Dora–anak dari kawan Marilla yang baru saja meninggal dan tak memiliki sanak keluarga, hingga Marilla membawanya ke Green Gables—memiliki sifat yang sangat berkebalikan. Dora adalah anak perempuan yang penurut dan manis, sedangkan Davy adalah anak lelaki yang sangat bandel. Davy yang kritis dan selalu ingin tahu mau tak mau mengingatkanku pada Anne kecil, meski bocah lelaki ini jauh lebih bandel dan tak memiliki imajinasi seperti Anne—yang menyebabkannya menerima segala perkataan secara praktis. Namun lama-kelamaan, Anne berhasil juga mengubah Davy menjadi lebih baik—meski belum sebaik Paul Irving, yang dinobatkan Davy sebagai saingannya dalam memenangkan hati Anne.

“Anne, kau main-main aja pasti.”
“Tentu saja, Davy Sayang. Tidakkah kau tahu hanya orang-orang bodoh yang bicara masuk akal sepanjang waktu?”
(p.239)

Kemudian ada Miss Lavender Lewis yang tinggal di Pondok Gema yang jauh dari jalan. Orang-orang sering menganggapnya aneh, tetapi saat secara tak sengaja Anne dan Diana singgah di Pondok Gema dan bertemu Miss Lavender untuk pertama kalinya, Anne sudah merasakan bahwa dia menemukan belahan jiwanya. Miss Lavender berusia empat puluhan dan belum pernah menikah sejak kesalahpahaman dengan tunangannya 25 tahun silam. Akan tetapi, jiwa mudanya masih senang berpetualang dengan khayalan dan imajinasi, sehingga aura kemudaan masih terpancar dari dirinya.

Tak ada twist yang sulit ditebak dalam buku ini. Buku ini benar-benar menceritakan dua tahun kehidupan Anne sebagai guru di Avonlea tanpa ada hal-hal yang sangat luar biasa. Tentu saja masih ada hal tak terduga yang mungkin mengejutkan, dalam artian membuat kita terperangah, tertawa, dan mungkin juga sedih atau kecewa. Namun bukan itu intinya, karena yang ditawarkan dalam buku ini adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang mungkin biasa saja, tetapi dengan Anne yang menghidupkannya, hal-hal biasa pun bisa menjadi luar biasa.

“Aku juga senang mengajar,” kata Gilbert. “ Bisa dibilang mengajar adalah latihan yang baik. Kau tahu, Anne, aku belajar lebih banyak saat mengajar pikiran-pikiran muda di White Sands selama beberapa minggu ini daripada saat aku belajar sendiri selama bertahun-tahun di sekolah.” (p.93)

Satu lagi karakter bijak yang sudah muncul sejak buku pertama namun tak memiliki porsi yang cukup besar adalah Mrs. Allan, istri dari pendeta di Avonlea. Di buku kedua ini, kemunculannya hanya sedikit, tetapi penulis bisa menunjukkan betapa wanita ini masih berperan besar dalam kehidupan Anne—meski tak diceritakan di dalam buku–melalui dialog yang dilakukan mereka pada suatu hari.

“Yah, aku ingin melihatmu melanjutkan ke perguruan tinggi, Anne. Tapi, jika kau tidak pernah mendapatkan kesempatan itu, jangan kecewa. Karena, kita tetap hidup di jalan mana pun kita berada … perguruan tinggi hanya akan menolong kita melakukannya dengan lebih mudah. Ada jalan yang lebar maupun jalan yang sempit, bergantung kita menyikapinya, bukan berarti kita harus keluar dari sana. Hidup begitu kaya dan penuh arti di sini … di mana pun … jika kita bisa belajar bagaimana membuka hati kita untuk menerima kekayaan dan arti hidup itu.” (p.210)

Dan pada usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahun, dengan teman-teman yang sudah mulai bertunangan atau menikah, kisah cinta Anne juga berjalan, dengan caranya sendiri.

Mungkin, apa pun yang terjadi, kisah cinta romantis tidak datang dalam kehidupan seseorang dengan kejutan dan gelora, seperti seorang ksatria gagah yang datang tiba-tiba. Mungkin, cinta merayap ke samping seseorang bagaikan seorang teman lama, melalui cara-cara yang tenang; mungkin cinta menampakkan diri dalam suatu prosa yang samar, hingga larik-larik cahaya tiba-tiba menggetarkan halaman-halamannya, mengkhianati irama dan musiknya, mungkin … mungkin … cinta tumbuh secara alamiah dari persahabatan yang indah, bagaikan sekuntum mawar berkelopak keemasan yang tumbuh dari selubung daunnya yang berwarna hijau. (p.428, 430)

5/5 bintang untuk sekuel yang (masih) membahagiakan dan menghangatkan hati.

The second book of Anne Shirley’s life still give me the same happy and warm feeling when I read it. Anne with her imaginative thoughts, her positive way of thinking, her idealism and she was learning over and over again from her experiences.

The first book told us about Anne adopted by Cuthbert brother and sister, Matthew and Marilla. They lived in Green Gables in Avonlea, a small country in Prince Edward Island.

In this book, Anne had finished her study and became a teacher. Beside old characters that was mentioned at the previous book, we’ll meet some new characters that didn’t less interesting than the old ones. All characters were described well so that we could feel that we’ve known them as well as Anne.

I love the description of the nature and scenery too. It felt very alive, as if we lived there with Anne. It was written beautifully, I enjoyed the book so much that I gave it all five stars rating.

Review #6 for 2013 TBR Pile Challenge

Review #15 for What’s in a Name Challenge 2013

 

 

 

13 responses to “Anne of Avonlea – Lucy Maud Montgomery

  1. Pingback: Scene on Three (23) | Bacaan B.Zee

  2. Pingback: Scene on Three (24) | Bacaan B.Zee

  3. Pingback: 2013 TBR Pile Challenge Wrap-Up | Bacaan B.Zee

  4. Pingback: Finding New Author & What’s in a Name Challenges 2013 Wrap Up | Bacaan B.Zee

  5. Pingback: Scene on Three (26) + 2nd Blogoversary Giveaway | Bacaan B.Zee

  6. Pingback: Second Year Update of The Classics Club Project | Bacaan B.Zee

  7. maaf, kalau boleh tau, di mana ya saya bisa beli seri kedua ini. di mizanstore nya sudah tidak terpampang. mungkin bisa kasiih info lewat email. terima kasih 🙂

    • Buku ini cetakan lama memang sudah sulit nyarinya. Mungkin malah di toko buku setempat masih ada, biasanya sudah di obralan.

  8. Pingback: Children’s Literature Giveaway Hop | Bacaan B.Zee

  9. hai kak, kalau masih aktif di blog ini tolong jawab ya. untuk genre, kira-kira buku ini ber-genre apa ya?

Leave a comment