At the Sign of the Sugared Plum – Mary Hooper

Book Title : At The Sign Of The Sugared Plum (Sign of the Sugared Plum #1)
Author : Mary Hooper (2003)
Publisher : Bloomsbury
Edition : July 2010, 2nd printing, 169 pages
ISBN : 978 1 4088 1371 3

Di hari yang panas tanggal 7 Juni 1665, Hannah datang ke London untuk menemani kakaknya, Sarah, yang telah lebih dahulu merintis usaha membuat manisan di kota itu. Hannah begitu bersemangat ingin menjadi ‘gadis kota’ yang cantik dan trendi, seperti sahabatnya di desa Chertsey, Abby (Abigail). Setelah menyusuri jalanan London menuju tempat kakaknya di Sugared Plum, dia tidak mendapatkan sambutan yang diharapkannya, karena ternyata sedang terjadi wabah penyakit di London.

Mustahil untuk kembali, Hannah pun tetap dengan rencana semula membantu membuat manisan yang laris di kalangan atas kota London. Wabah masih jauh dari tempat mereka tinggal, sehingga Hannah mulai menikmati hidupnya, melihat bagaimana kalangan atas bergaya, membuat manisan dari berbagai tumbuh-tumbuhan, sampai bertemu dengan Tom, ahli obat magang di tempat Doctor da Silva, yang menarik hatinya.

Tidak lama kemudian, hal yang ditakutkan terjadi, penyakit mulai memakan korban di lingkungan tempat tinggal mereka. Hanya orang-orang kaya yang mampu membuat Sertifikat Kesehatan dan keluar dari London. Orang-orang biasa seperti Hannah dan Sarah hanya bisa pasrah dengan keadaan, mengupayakan pencegahan semaksimal yang mereka bisa di tengah pemandangan mengerikan yang mereka saksikan. Orang-orang saling menghindari satu sama lain agar tidak tertular, satu per satu menjadi ‘gila’ karena rasa sakit dan kematian menyakitkan yang mereka saksikan di depan mata, mayat-mayat yang semakin lama semakin menumpuk hingga tak bisa diperlakukan secara manusiawi, serta usaha-usaha yang terpaksa tutup karena sudah tak ada lagi orang yang mampu membelinya.

Saat membaca buku ini, saya langsung teringat dengan buku The Great Trouble yang mengangkat tema serupa (dan merupakan salah satu favorit saya). Perbedaannya pada setting waktu, di buku ini terjadi dua abad lebih awal, dan wabah yang dimaksud adalah Bubonic Plague (penyakit pes) yang menimbulkan Black Death. Sedangkan di The Great Trouble, terjadi Blue Death akibat penyakit kolera yang terjadi pada abad ke-19. Sudut pandang yang diambil juga berbeda, pada buku ini, Hooper lebih menekankan pada dampak personal dari wabah tersebut, dengan menggunakan sudut pandang orang pertama dari Hannah. Pada The Great Trouble, Deborah Hopkinson memberi gambaran lebih luas mengenai penyakit/wabahnya, sehingga melalui interaksi antar karakternya, kita bisa mengetahui apa penyebab pasti dari wabah, metode penularan, hingga penanggulangannya. Saat ada bagian Hannah mengambil air dari tempat yang lebih jauh dari rumahnya karena di sana ada Abby, saya sempat berpikir akan ada hubungan dengan penyebaran penyakit, termasuk saat rumah majikan Abby membangun sumur sendiri.

Setelah mengalami sendiri wabah yang terjadi pada 2020 yang lalu, rasanya banyak hal yang relate dengan kita saat itu. Covid-19 yang mengisolasi kita dengan lingkungan sekitar, merenggut nyawa orang-orang terdekat kita, mengacaukan rutinitas hidup, dan pengalaman-pengalaman personal lain yang mungkin berbeda-beda satu dengan yang lain. Salah satu yang menjadi pertanyaan saya (karena tidak disebutkan dalam buku ini), apakah pada saat itu, ada juga orang yang denial dan menyepelekan wabah, terutama karena tidak terjadi pada diri mereka, atau karena mereka survive dari penyakit tersebut? Kemungkinan besar tentunya ada, dan mungkin saya perlu menelusuri dari buku nonfiksi terkait (yang sebagian sebetulnya sudah ada di daftar baca).

Kisah Hannah di buku ini diakhiri pada awal September di tahun yang sama, saat sebuah kejadian besar terjadi padanya dan kakaknya. Namun, Bubonic Plague sendiri menurut catatan sejarah baru benar-benar berakhir tahun berikutnya, sekitar waktu terjadinya The Great Fire di London. Kejadian ini tampaknya yang kemudian menjadi setting waktu di sekuel berikutnya. Di catatan belakang buku ini, Mary Hooper menyebutkan beberapa buku yang digunakannya sebagai referensi, di antaranya Pepy’s Diary, The Great Plague of London (W. G. Bell), dan Restoration London (Liza Picard). Dia juga menambahkan beberapa resep manisan yang sangat menarik untuk dicicipi (tetapi perlu upaya untuk membuatnya sendiri).

Buku ini merupakan historical fiction dengan setting abad ke-17 yang sasarannya adalah remaja/dewasa muda (young adult), dengan bumbu romansa secukupnya. Selain mengenai cara bertahan hidup, keluarga, dan persahabatan, ada juga potret mengenai salah satu fase remaja/dewasa awal yang mulai memerhatikan penampilan dan percintaan. Sebagai seorang yang berada di usia dewasa pertengahan, saya tidak terganggu dengan sikap dan perkembangan karakter Hannah, dengan segala kenaifan dan impulsivitasnya. Ketegangan dari buku ini didapatkan karena pembaca tidak bisa tahu siapa ‘korban’ berikutnya, apa yang akan terjadi dengan kehidupan karakter-karakternya.

Satu Dekade Bacaan B.Zee

Hari ini sepuluh tahun lalu, saya memulai blog ini yang saya niatkan khusus untuk buku. Sepuluh tahun berlalu dengan segala naik turunnya. Saya rasa tanpa perlu menambahkan cerita apa-apa, hal yang berkali-kali disinggung dalam post 3-4 tahun terakhir masih berperan dalam fluktuasi yang terjadi di blog ini. Kalau bicara soal harapan (seperti pada umumnya yang selalu diucapkan pada hari jadi) pun tidak muluk-muluk, masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya.

Oleh karena saya sudah sampai di sini untuk menuliskan sebuah post, maka saya akan buat sedikit refleksi kegiatan membaca dan blogging saya dalam 10 tahun terakhir.

Goodreads Reading Challenge

Saya mulai bergabung di Goodreads pertengahan 2011, tetapi baru aktif (dan tahu cara mainnya) di akhir tahun. Jadi, tahun lalu tepat 10 tahun juga saya menamatkan Goodreads Reading Challenge. Di tahun pertama, 2012, saya cukup optimis bisa baca 100 buku. Tapi, ternyata cukup ngos-ngosan juga, hingga tahun berikutnya saya turunkan, dan berikutnya saya turunkan lagi karena pekerjaan yang semakin padat. Targetnya seperti yang saya capture di bawah.

Sebenarnya Goodreads Reading Challenge ini saya anggap hiburan saja, apalagi di tahun-tahun awal banyak tantangan baca saya ikuti (yang kebanyakan gagal). Karena jumlahnya saya yang menentukan sendiri, jadi saya kira-kira sesuai kemampuan, yang penting dapat badge-nya.

Saya membaca buku bantal yang ratusan-ribuan halaman sampai buku buku anak yang hanya sekian puluh halaman dan lebih dari separuhnya berisi gambar. Jadi jumlah buku mungkin tidak terlalu mencerminkan pola baca. Seperti tahun 2015 yang jumlah bukunya meroket, tetapi jumlah halamannya tidak naik signifikan, tentu saja karena tahun itu saya banyak membaca buku anak bergambar.

Jumlah buku per tahun
Jumlah halaman per tahun

Dari dua gambar terakhir terlihat ada 17 buku yang saya baca di tahun 2011, sebenarnya itu dalam kurun satu bulan saja saat baru aktif di Goodreads dan sedang menganggur. Jumlah halamannya bahkan lebih banyak dari yang kubaca tahun lalu dalam setahun penuh. Kadang rindu juga ya masa seperti itu.

Reading Challenge yang Lain

Saat memulai blog ini, saya banyak belajar dari teman-teman blogger lain, khususnya BBI. Termasuk mengikuti banyak tantangan baca yang semakin tahun semakin bervariasi dan semakin menantang. Meski tak banyak yang selesai, rasanya menyenangkan saat memilih-milih bacaan dan berjalan-jalan di blog lain. Rutinitas ini berlangsung sampai tahun 2015, selain aktivitas saya di blog berkurang, aktivitas teman blogger lain juga semakin berkurang.

Tahun 2016-2019 rasanya berjalan begitu saja, masih kadang mereview, merekap bacaan, tetapi seadanya saja. Melihat rekam blog, masih hampir setiap bulan posting, tetapi paling sering hanya Scene on Three, meme yang saya buat di pertengahan 2013. Kalau penasaran, silakan menelusuri widget di tepi kanan-kiri-atas-bawah blog ini.

Tahun 2020 saya mulai posting semua bacaan (dan pembelian buku) di Instagram (@bzee125). Sebenarnya tidak terlalu penting, karena semua bacaan masih selalu saya rekam di Goodreads. Namun, di situ sekalian saya merekap reading challenge, yang sudah beralih ke media yang lebih cepat daripada blog. Hingga sekarang, kebiasaan itu masih saya lakukan. Dan seperti biasa, tidak selesai, yang penting senang (apalagi kalau sekali waktu ada hadiahnya).

Bacaan B.Zee

Saya orang yang menyukai pola dan keteraturan. Pembaca blog ini mungkin bisa melihat bahwa format review saya seringnya begitu-begitu saja, semacam ada format baku. Ketika kesulitan meneruskan rutinitas mereview, saya membuat pola baku baru yang lebih ringan (misal: Mini Reviews). Saat pola itu pun masih sulit dilakukan, saya pun berhenti.

Saya belum bisa membayangkan ke depannya blog ini akan seperti apa. Apakah saya akan bisa meninggalkan pola baku, lebih santai dan fleksibel saat menulis, hingga blog ini bisa tetap hidup, atau saya akan bisa menemukan pola baru, belum terbayangkan saat ini.

Satu hal yang pasti, blog ini masih selalu ada untuk saya menuliskan perasaan dan pikiran saya tentang perbukuan, yang tidak bisa saya tinggalkan apa pun kesibukan lain yang ada. Blog ini juga masih hidup karena ada puluhan mata yang mengunjungi tiap hari, entah siapa kalian, entah sengaja atau tersesat, entah menemukan yang kalian cari atau tidak, entah mengerti atau tidak.

Koleksi Buku

Nyawa dari blog ini adalah buku, baik buku yang saya miliki sendiri, saya pinjam, ataupun saya sewa. Dulu sempat ada meme soal buku yang dibeli tiap bulan, yang kemudian saya ungsikan ke blog satunya ( http://www.bzee125space.wordpress.com ) agar tidak terlalu mengganggu karena waktu itu konten blog ini cukup padat. Catatan pembelian buku saya sebenarnya berantakan, apalagi kemudian ada buku yang saya jual atau berikan ke orang lain. Saat ini, seperti rekam bacaan, rekam pembelian ada di Instagram sejak tahun 2020 (meski tak dijamin benar-benar akurat).

Walau pembelian buku sudah sangat saya rem, mengingat kecepatan baca dan ketersediaan ruang, tetap saja sulit, kalau bukan mustahil, untuk mencapai keseimbangan. Pembelian buku masih lebih banyak daripada buku yang dibaca per tahunnya. Salah satu cita-cita saya adalah memiliki perpustakaan pribadi yang besar, jadi sulit juga untuk melepaskan buku yang sudah dibaca. Koleksi buku saya saat ini sudah cukup besar untuk ukuran orang Indonesia, dan tak semua buku masuk koleksi khusus, jadi sebagian biasanya saya pinjamkan untuk menambah manfaat dari buku-buku itu.

Saya juga menjual buku di http://www.instagram.com/bookishpatronus, baik yang dibeli sengaja untuk dijual, atau dari koleksi pribadi. Awalnya karena saya tidak bisa membiarkan buku diam saja di toko, dan menjadi entah apa besok-besok (bisa jadi dimusnahkan). Namun, saya kurang mencurahkan energi ke situ, sehingga usaha ini masih hilang-timbul. Saya juga pernah membuka Teras Baca kecil-kecilan, tapi karena alasan yang sama, akhirnya berhenti.

Dari pembelian atau sekadar mengamati toko buku (daring maupun luring), sebenarnya saya jadi punya banyak ide tulisan untuk blog ini di luar review buku. Jadi, mengulang kalimat di awal tadi, nyawa dari blog ini sebenarnya adalah buku, baik yang sudah dibaca, belum dibaca, bahkan yang belum dibeli. Jadi kalaupun saya tidak membaca buku sama sekali bulan ini, seharusnya tetap ada tulisan yang bisa dibuat. Mungkin tulisan semacam ini yang ada harapan untuk di-post dalam waktu yang tak terlalu jauh.

Timbunan yang Dipersalahkan

Ada sebuah fenomena di media sosial yang sejujurnya mengusik saya, beberapa pembaca, dan—terutama—penimbun buku. Saya tidak tahu mulai kapan, tetapi entah kenapa tiba-tiba banyak akun media sosial penerbit dan toko buku menyindir-nyindir para penimbun buku. Saya ulangi, akun penerbit dan toko buku. Saya tekankan lagi ya, penerbit BUKU dan toko BUKU, menyindir para penimbun buku, alias PEMBELI setia buku.

Sebenarnya sudah banyak yang mengomentari langsung ketidaksenangannya di akun media sosial yang bersangkutan; terkadang diikuti permintaan maaf, terkadang diabaikan begitu saja, bahkan tak jarang pengikut yang lain ikut merundung yang memprotes. Jadi saya rasa penting untuk menulis ini, sebagai wujud kegelisahan dan protes akan fenomena yang menambah bahan rundungan yang sudah kerap kali diterima oleh pembaca dan pembeli buku.

Sudah bukan informasi baru bahwa tingkat literasi di Indonesia rendah, bahwa buku bukanlah dianggap sebagai kebutuhan, dan buku dicetak tiga ribu eksemplar saja sering tidak habis terjual, bahkan buku-buku yang best seller saja bisa kalah penjualannya dengan buku bajakan. Bukan rahasia juga bahwa penerbit harus putar otak supaya bisa terus beroperasi dan menerbitkan buku-buku bagus, sampai seringkali perlu menanggalkan idealismenya.

Para pembaca biasanya tahu fakta ini, lalu memilih ‘beli dulu, baca nanti-nanti’ dengan berbagai alasannya. Mulai dari yang memang suka membeli buku, yang tidak tahu apakah besok-besok buku ini akan ada lagi di pasar (karena penjualan rendah seringkali tidak dicetak ulang, dan sisa gudang dimusnahkan), sampai yang secara sadar ingin mendukung penulis dan penerbit agar dapat terus menghasilkan buku-buku bagus. Para pembaca ini juga yang biasanya ikut bersuara lantang melawan pembajakan, yang saling bertukar informasi toko mana saja yang sedang diskon, ada sale di mana, penerbit apa yang sedang cuci gudang, juga membagikan info itu ke orang-orang yang belum tahu bahwa buku asli tidak selalu mahal.

Dengan sebegitu banyaknya buku-buku diterbitkan di dunia, tanpa diimbangi waktu baca yang bertambah pula, maka menumpuklah buku yang belum dibaca itu. Oleh karenanya, lahirlah para pembaca yang juga penimbun buku. Para penimbun yang saya kenal jumlahnya mungkin tidak sebanyak orang yang prapesan buku salah seorang penulis ternama, yang seribu buku habis dalam sekian menit, tetapi mereka adalah orang-orang yang konsisten membeli buku, yang mungkin seumur hidupnya pernah membeli lebih banyak buku daripada jumlah sekali cetak sebuah buku. Bagaimanapun juga kita harus ingat bahwa ini Indonesia. Berapa banyak sih orang yang tidak suka membaca akan membeli buku? Maka dari itu, pernyataan yang menyindir penimbun dengan alasan ingin mengkampanyekan baca buku itu saya rasa tidak relevan sama sekali.

Di masa pandemi ini, penjualan buku yang tadinya memang ga bagus-bagus amat jadi terjun bebas. Karyawan dirampingkan, jumlah buku terbit dikurangi, bahkan mungkin beberapa penerbit yang terancam gulung tikar. Di lingkaran orang-orang dalam penerbit beberapa sampai curhat tentang ini, lalu berpesan supaya yang biasa membeli buku tetap membeli buku, demi kelangsungan hidup industri buku. Saya pikir fenomena menyindir penimbun tidak akan muncul lagi, ternyata salah.

Sebetulnya sudah jadi internal joke, setiap ada diskon besar atau prapesan buku yang menarik, kami–para penimbun–saling menanyakan kabar dari timbunan masing-masing sebelum akhirnya kalap berjamaah juga. Cuma kalau yang bercanda dari penerbit atau toko buku, jadinya kok tidak lucu lagi. Para penimbun buku juga terdampak pandemi (siapa sih yang tidak), tetapi dengan adanya penimbun yang tetap membeli buku, walaupun jelas-jelas tidak kehabisan bacaan, itu tolong dihargai. Kalau ada yang bilang terlalu baper atau apa, ya, memang sejak awal membeli buku karena melihat keluh-kesah para pekerja buku itu sudah baper juga. Kalau ada yang bilang bercandaan terlalu dianggap serius, akan saya jawab, “Kalau sekali dua kali bisa dibilang bercanda, tapi kalau berkali-kali dan diulang terus, itu artinya ya memang serius.”

Ada banyak cara kok untuk jadi asyik dan lucu tanpa harus mengeluarkan sindiran yang menyakitkan. Toh penerbit dan toko buku itu tujuan utamanya adalah menjual buku kan. Jadi berfokuslah agar orang-orang membeli buku kalian, bukan membuat orang merasa bersalah karena sudah membeli tapi belum sempat membacanya. Teknik pemasaran yang mendasar adalah memahami cara berpikir target pasar kalian, bukan sekadar berinteraksi dengan pengikut (followers) semata, apalagi kalau followers-nya ditanya sedang baca buku apa, jawabannya buku nikah atau buku tabungan.

 

View this post on Instagram

 

Invented by @dion_yulianto Collected by @destinugrainy Jhunjhungan qita semua.

A post shared by bzee (@bzee125) on

//www.instagram.com/embed.js

Scene on Three (132) [7th Anniversary]

Ya, tepat hari ini, tujuh tahun yang lalu, Scene on Three diluncurkan pertama kali. Biarlah blog ini jarang posting, tapi hari spesial seperti ini seharusnya tetap dirayakan. Berhubung belakangan saya tidak banyak membaca buku yang SoT-able, dan masih dalam semangat cinta negeriku yang sedang lucu-lucunya ini, marilah kita kutip salah satu puisi Wiji Thukul.

ucapkan kata-katamu

jika kau tak sanggup lagi bertanya
kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan
jika kautahan kata-katamu
mulutmu tak bisa mengucapkan
apa maumu terampas
kau akan diperlakukan seperti batu
dibuang, dipungut
atau dicabut seperti rumput
atau menganga
diisi apa saja menerima
tak bisa ambil bagian
jika kau tak berani lagi bertanya
kita akan jadi korban keputusan-keputusan
jangan kaupenjarakan ucapanmu
jika kau menghampa pada ketakutan
kita akan memperpanjang barisan perbudakan
(hal.27)

Jika mengikuti media sosialku (terutama Twitter) beberapa bulan belakangan, pasti tahu ada satu isu yang cukup sering dan keras kubicarakan. Isu yang menurutku penting dan patut, bahkan harus kuperjuangkan, sebagai bagian dari sistem besarnya. Yah, mungkin seperti yang disebut dalam puisi ini, saya tidak mau ditenggelamkan keputusan-keputusan, dicabut seperti rumput, dan menghampa pada ketakutan. Kalaupun itu harus terjadi, setidaknya saya sudah ikut dalam perjuangan, meski hanya dengan hal sesepele kata-kata.

Nyanyian Akar Rumput – Wiji Thukul

20870506Judul : Nyanyian Akar Rumput
Penulis : Wiji Thukul
Penyunting : Arman Dhani Bustomi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Edisi : Cetakan keempat, November 2019
Format : Paperback, 243 halaman

nyanyian akar rumput

jalan raya dilebarkan
kami terusir
mendirikan kampung
digusur
kami pindah-pindah
menempel di tembok-tembok
dicabut
terbuang
kami rumput
butuh tanah
dengar!
ayo gabung ke kami
biar jadi mimpi buruk presiden!
(hal.25)

Puisi yang dijadikan judul untuk kumpulan puisi ini rasanya cocok menggambarkan keseluruhan buku ini. Tentang suara-suara akar rumput yang tersingkirkan di negerinya sendiri, kemiskinan, kapitalisme, kritik terhadap penguasa, perlawanan, keberanian, dan tentang hidup itu sendiri. Bahasa yang digunakan lugas, terus terang, dan yang paling penting, menyentuh langsung permasalahan yang ada.

Membaca buku ini, di masa sekarang, 22 tahun setelah tumbangnya penguasa yang dikritik habis-habisan dalam buku ini, rasanya masih sangat relevan. Terlebih orang-orang yang ada di atas saat ini tak jauh-jauh dari orang-orang yang berpengaruh di zaman itu.

tong potong roti

tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
kini datang gantinya

tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
bagi-bagi tanahnya

tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
siapa beli gunungnya

tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
kini indonesia

tong potong roti
roti campur mentega
belanda sudah pergi
kini siapa yang punya
(hal.58)

Agak menyedihkan juga bahwa setelah beberapa dekade, beberapa kali berganti presiden, beberapa kali merevisi undang-undang, kita masih berkutat pada masalah yang sama. Saya tak akan mengatakan sejarah berulang, karena kenyataannya banyak hal bukannya berulang, tetapi memang belum berubah sejak dulu.

biarkanlah jiwamu berlibur, hei penyair


bahasa kita adalah bahasa indonesia benar
bukan bahasa yang gampang dibolak-balik artinya oleh penguasa
bbm adalah singkatan dari bahan bakar minyak
bukan bolak-balik mencekik
maka berbicara tentang nasib rakyat
tidak sama dengan pki atau malah dicap anti-pancasila
itu namanya manipulasi bahasa
kita harus berbahasa indonesia yang baik dan benar
kata siapa kepada siapa.
(hal.87-89)

Namun, tak semua tema puisinya seragam, ada juga puisi yang berbicara tentang alam, cinta, baik yang tampak seperti apa adanya, ataupun yang sebagai kiasan. Karena memang buku ini adalah kumpulan dari puisi-puisi yang ditulis dari berbagai masa dan situasi, maka tentu akan tampak nuansa yang berbeda-beda.

ada pelangi di langit sore

ada pelangi di langit sore
seusai siang badai
ada damai menjelang senja
lalu malam
selamat tidur…
sampai jumpa esok pagi
badai nanti lagi
seperti biasa
(hal.116)

Di antara kesemua tema puisi di buku ini, yang paling menyentuh hati adalah puisi-puisi yang dipersembahkan untuk anak dan istrinya, puisi-puisi yang ditulis pada masa pelarian. Puisi-puisi tersebut tampak seperti surat cinta dan surat perpisahan, yang tak mengizinkan kata putus asa dan kesedihan menetap di sana.

catatan

kalau kelak anak-anak bertanya mengapa
dan aku jarang pulang
katakan
ayahmu tak ingin jadi pahlawan
tapi dipaksa jadi penjahat
oleh penguasa
yang sewenang-wenang

kalau mereka bertanya
“apa yang dicari”
jawab dan katakan
dia pergi untuk merampok
haknya
yang dirampas dan dicuri
(hal.164-165)

Rasanya buku ini sangat penting untuk dibaca oleh semua orang. Yang senasib akan merasa tidak sendirian dalam perlawanan, yang lebih beruntung akan merasakan empati terhadap sesamanya. Jika hati nurani masih ada. Lalu bersama-sama melawan, apa pun bentuknya, sesederhana apa pun.

sajak

sajakku
adalah kebisuan
yang sudah kuhancurkan
sehingga aku bisa mengucapkan
dan engkau mendengarkan

sajakku melawan kebisuan
(hal.210)

Rasanya banyak sekali puisi yang ingin saya kutip di sini, karena kutipan-kutipan itu akan jauh lebih bisa berbicara ketimbang review yang saya buat ini. Akan tetapi daripada begitu, lebih baik kalian beli/pinjam dan baca sendiri saja bukunya. Sebagai penutup, ada sebuah puisi pendek yang tajam sekali.

busuk

derita sudah matang, bung
bahkan busuk
tetap ditelan?
(hal.163)