Doctors – Erich Segal

Judul buku : Doctors (Dokter)
Penulis : Erich Segal (1985)
Penerjemah : Hidayat Saleh
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Februari 2010
Tebal buku : 848 halaman

Saat berusia lima tahun, Barney Livingston memiliki tetangga baru, Laura Castellano. Ayah Laura, Luis Castellano adalah seorang dokter. Mungkin dari situlah awal mereka berkenalan dengan dunia medis, mengalami dan memahami betapa tipisnya batas hidup dan mati, moral dan sumpah Hippocrates.

Perjalanan Barney dan Laura berikutnya berputar pada laboratorium anatomi, biokimia, sampai pada lorong-lorong rumah sakit, tempat mereka menjalani kehidupan sebagai mahasiswa kedokteran, intern (di Indonesia disebut coass/dokter muda), dan resident (calon dokter spesialis). Dari tahun-tahun yang diceritakan dalam buku tebal ini, ada empat paragraf yang menurut saya mencerminkan keseluruhan isi buku ini:

Dokter kerap kali dituduhkan tak berperasaan, gampang disuap, dan suka memuja diri. Tapi mereka mengingatkan kita bahwa mereka telah mengorbankan musim semi kehidupan mereka, sepenuhnya kehilangan tahun-tahun berharga antara umur dua puluh sampai tiga puluh untuk mendapatkan ketrampilan demi kesejahteraan sesama manusia.

Lebih dari itu mereka juga menanggung berbagai kerugian lain. Mereka kebanyakan hanya bisa benar-benar tidur nyenyak tak lebih dari dua minggu selama masa itu. Banyak di antara mereka mengorbankan perkawinan dan kehilangan peluang unik untuk menyaksikan anak-anak mereka tumbuh.

Jadi, bila mereka mengatakan dunia berutang kepada mereka–dalam bentuk kekayaan, penghormatan, dan status sosial–tuntutan mereka itu bukan sama sekali tak beralasan.

Lagi pula seperti diperlihatkan angka statistik yang suram, mereka kerap kali menderita lebih parah daripada pasien mana pun. Karena tak seorang pun bisa memperbaiki perkawinan yang hancur atau memulihkan anak-anak yang rusak akibat ditelantarkan ayah mereka.

(p.440)

Karena perjuangan itu tidak mudah dan singkat, sehingga butuh beratus-ratus halaman untuk mengekstraksikannya sehingga menjadi sebuah karya utuh yang, menurut saya, ditulis dengan sangat brilian oleh orang yang notabene bukanlah seorang dokter. Saya tidak mengatakan bahwa saya setuju dengan kata per kata dalam petikan di atas. Karena pada zaman sekarang rasanya tuntutan dan pengorbanan rasanya tak seberat dulu, meski tetap saja terasa tertatih-tatih dalam perjalanannya. Akan tetapi, saya tidak memungkiri juga bahwa itu adalah kenyataan, yang dialami oleh–seperti dikatakan Segal–KEBANYAKAN dokter. Sebagian dokter dalam situasi dan bidang tertentu menanggung beban dan menuntut pengorbanan yang lebih berat dibandingkan yang lain.

Rasanya cukup familiar dengan dunia di mana saat baru saja memasukinya, langsung dituntut untuk menghapalkan nama-nama asing. Tidak tidur semalaman demi sebuah tes, yang begitu selesai dengan cepat akan terlupakan. Persaingan yang sehat maupun tidak sehat. Stress psikologis dengan berbagai bentuknya, mulai dari ringan sampai paling berat. Romantika dan persahabatan yang terjalin karena keadaan. Masalah yang dengan sengaja datang, seolah belum cukup semua tekanan itu.

Buku ini tak melulu membahas persahabatan Barney dan Laura yang tetap terjalin erat meski mereka bertugas di rumah sakit yang berbeda, tetapi juga teman-teman mereka dari Harvard Medical School, dan orang-orang yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan mereka.

Penulis dengan lihai menunjukkan betapa pentingnya perkembangan ilmu kedokteran. Dia menunjukkan betapa berharganya penemuan vaksin Polio, karena dengan demikian berjuta-juta anak dapat diselamatkan dari kematian. Kematian seperti yang dialami oleh adik kandung Laura, beberapa tahun sebelum vaksin tersebut ditemukan, akan dapat dicegah. Segal juga mengangkat isu diskriminasi ras dan jenis kelamin yang pada saat itu sedang marak, dimana dalam profesi dokter sangat dirasakan oleh wanita dan kulit berwarna.

Di dalam masyarakat, ada dua opini yang sangat bertentangan mengenai profesi dokter. Yang satu mendewakannya, menganggapnya serba tahu dan kepanjangan tangan dari Tuhan. Di sisi lain, ada pula orang-orang yang skeptis, yang memandang bahwa dokter adalah makhluk-makhluk eksklusif yang hendak mengeruk keuntungan dari orang yang sedang menderita. Saya rasa, buku ini mungkin bisa memberikan ‘sedikit’ pencerahan bagi kedua kubu ini. Untuk melihat realitas, bagaimana remaja-dewasa memasuki sebuah dunia asing yang menekan mereka menjadi sedemikian rupa eksklusifnya, berusaha menjadi kepanjangan tangan Tuhan demi menolong orang-orang yang membutuhkan bantuan medis, tetapi di sisi lain terbentur pada keterbatasan ilmu. Masih banyak misteri dalam tubuh manusia, masih banyak misteri ilmu pengetahuan yang menggoda dengan mengintip sedikit demi sedikit, tanpa memberi celah untuk membuat dokter menjadi ‘dewa’ seutuhnya.

4/5 bintang untuk kenangan dan refleksi.

Leave a comment