Monthly Archives: December 2012

The Old Man and The Sea – Ernest Hemingway

Conclusion in English at the last words.

TOMatSJudul buku : The Old Man and the Sea
Penulis : Ernest Hemingway (1952)
Penerbit : Scribner, 2003 (cetakan ke-45)
Jumlah halaman : 128 halaman

“But man is not made for defeat. A man can be destroyed but not defeated.” (p.103)

Orang tua itu bernama Santiago. Sudah 84 hari dia melaut tanpa menghasilkan apa-apa. Dia biasa ditemani seorang bocah, sahabatnya yang bernama Manolin. Akan tetapi pada hari ke-40 orang tua bocah itu melarangnya untuk kembali bersama Santiago. Mereka menyebutnya salao, jenis terburuk dari kesialan. Akan tetapi Manolin tetaplah sahabat Santiago yang terbaik, yang selalu mendukung dan memperhatikan kebutuhan orang tua tersebut.

Menjelang hari ke-85, Santiago yakin akan keberuntungannya. Dia mempersiapkan segala sesuatunya seakan hari tersebut adalah hari yang sangat penting. Manolin menawarkan diri untuk menemaninya, tentunya berarti melawan orang tuanya, tapi Santiago menolak. Jadilah pada hari ke-85 Santiago berlayar sendirian sebelum fajar menyingsing, dan kisahnya baru akan dimulai.

Dalam pelayarannya tersebut, Santiago merasakan bahwa seekor ikan besar telah mengambil umpannya. Dia menunggu waktu yang tepat untuk menarik kailnya, namun ternyata ikan tersebut berbeda. Tenaganya luar biasa, hingga hingga matahari terbenam beberapa kali, masih belum ada yang bisa dilakukan lelaki tua itu. Keadaan laut yang sangat dikenalnya membantu, sekaligus membawa malapetaka untuk Santiago. Bukan karena dia gagal seperti hari-hari sebelumnya, akan tetapi karena keberhasilan yang kemudian berakhir tak seperti yang dia harapkan.

Kisah yang dituturkan ini sebenarnya sederhana saja. Tak ada konflik dan hal muluk-muluk yang diceritakan, namun tetap saja, ada pesan yang tersimpan dan tersirat dalam kesederhanaan itu. Kedataran kisahnya merupakan pesona tersendiri untuk saya, yang sebelumnya belum pernah menikmati karya dari penulis ini. Saya suka dengan penggambaran yang dipergunakan oleh penulis, dia berhasil memberikan kesan terikat yang begitu dalam antara sang Lelaki Tua dan Laut. Salah satunya adalah bagaimana Santiago menggunakan kata ganti manusia, seperti ‘he’ untuk ikan, ‘she’ untuk laut, dan sebagainya.

He always thought of the sea as la mar which is what people call her in Spanish when they love her. Sometimes those who love her say bad things of her but they always said as though she were a woman. Some of the younger fishermen, those who used buoys as floats for their lines and had motorboats, bought when the shark livers had brought much money, spoke of her as el mar which is masculine. They spoke of her as a contestant or a place or even an enemy. But the old man always though of her as feminine and as something that gave or withheld great favours, and if she did wild or wicked things it was because she could not help them. The moon affects her as it does a woman, he thought. (p.29-30)

Meskipun saat saya membaca buku ini sempat tersendat, pesona buku ini sungguh luar biasa untuk saya anugerahkan 5/5 bintang untuk penerima Pulitzer Prize tahun 1953, sekaligus Nobel Awards untuk penulisnya pada tahun 1954.

This is a simple but very beautiful book. I never enjoyed Hemingway before, but after this book, I was sure I’m going to love his writings. I think what Hemingway wanted to say was more than an unlucky fisherman that suddenly got a big fish. Not also what happened with that big fish. He described the sea and all creatures around, as symbols of the greater things. About human desire and fate, about how to accept whatever happened to us, about something that we should and shouldn’t think too much. He really didn’t need flowery words, nor lofty conflicts, to make this book awesome. I was enchanted by this book, 5/5 stars. 

The Phantom of The Opera – Gaston Leroux

Conclusion in English at the last words.

TPoTOJudul buku : The Phantom of The Opera (Le Fantôme de l’Opéra)
Penulis : Gaston Leroux (1909-1910)
Alih bahasa : Stefanny Irawan
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, April 2011
Tebal buku : 376 halaman

Hantu Opera itu benar-benar ada. Ia bukanlah yang selama ini dianggap makhluk khayalan para seniman, takhayul para manajer, atau hasil pemikiran otak-otak absurd dan labil milik para gadis muda penari balet, para ibu mereka, para penjaga boks balkon, para penjaga mantel atau penerima tamu. Ya, dia nyata dan benar-benar hidup meskipun ia memilih untuk menampilkan diri layaknya hantu sungguhan. (p.9)

Itulah pembuka kata pengantar dalam buku misteri sejarah ini.  Penulis menyatakan hasil penelitiannya terhadap apa yang ramai dibicarakan tentang Hantu Opera dalam novel ini. Selepas pensiunnya Monsieur Debienne dan Poligny, posisi manajer opera diduduki oleh Firmin Richard dan Armand Moncharmin. Menjelang pesta perpisahan, terjadi peristiwa-peristiwa aneh secara berturutan. Mulai dari diketemukannya Joseph Buquet yang meninggal secara misterius, sampai penampilan Christine Daaé yang secara ajaib menjadi menakjubkan dan berbeda dari biasanya.

Kedua manajer yang baru, yang tidak tahu-menahu tentang rumor Hantu Opera yang sudah beredar luas di kalangan opera, merasa terganggu dengan pesan-pesan aneh para manajer lama tentang Boks Balkon nomor Lima yang harus dikosongkan untuk sang Hantu, sejumlah uang yang harus dibayarkan untuk Hantu Opera, dan perjanjian-perjanjian yang dianggap mereka sebagai lelucon konyol. Akan tetapi, di saat mereka mengabaikan perjanjian dengan Hantu Opera, malapetaka pun terjadi sehingga, tidak bisa tidak, lelucon ini sudah menjadi serius.

Sementara itu, Christine Daaé yang telah menunjukkan kemampuannya yang memukau, menarik perhatian Vicomte Raoul de Chagny. Sebenarnya sudah sejak lama Raoul tertarik pada Christine, begitu pula sebaliknya, dan mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Akan tetapi, ada rahasia yang disimpan oleh Christine, yang membuatnya tak bisa menerima cinta sang viscount. Malaikat Musik yang mendatanginya, dan mengajarinya bernyanyi melarang Christine untuk menikah dengan siapa pun. Saat mengetahui hal tersebut, Raoul yakin bahwa Malaikat Musik yang bernama Erik itu hanya memanfaatkan Christine, dan wanita yang dicintainya itu hanya terjebak dalam perangkap yang dibuatnya. Misteri Erik, yang juga merupakan sang Hantu Opera inilah yang berusaha dipecahkan oleh Raoul, demi kebebasan Christine. Sampai suatu malam, Christine Daaé diculik dari atas panggung dengan cara yang sangat misterius. Raoul bersama dengan Orang Persia yang mengetahui seluk-beluk Erik dan gedung opera itu bersama-sama mempertaruhkan nyawa mereka, menemukan tempat persembunyian Erik.

Bisa dikatakan buku ini begitu berwarna, misteri tentang Hantu Opera yang menegangkan, kekejamannya yang menakutkan, kisah cinta Raoul, Christine dan Erik yang mengharukan, serta sejarah Erik sang Hantu yang menimbulkan empati tersendiri. Penulis benar-benar membuat kita ikut masuk ke dalam misteri yang tak terpecahkan selama bertahun-tahun. Suasana dan setting gedung opera digambarkan secara mendetail, seolah-olah kita masuk dan berjalan-jalan di dalamnya. Ruang-ruang di lantai atas, di bawah pintu-pintu jebak, sampai ke bawah tanah yang nyaris tak terjamah. Begitu pula budaya orang-orang Perancis, terutama Paris, pada saat itu.

Seseorang bukanlah warga Paris sejati jika ia tidak belajar mengenakan topeng wajah gembira untuk menutupi duka citanya dan topeng raut sedih, bosan, atau tak peduli bagi suka cita di dalam hatinya. Bila kau tahu salah seorang temanmu sedang punya masalah, jangan coba menghiburnya sebab ia akan bilang bahwa ia sudah tidak apa-apa. Tetapi bila ia sedang beruntung, hati-hatilah dalam mengucapkan selamat kepadanya; ia pikir hal itu biasa saja sehingga merasa kaget ketika kau menyinggungnya. Di Paris, kehidupan adalah pesta topeng; (p.46)

Pada akhirnya, kita sendiri yang harus memutuskan bahwa Hantu Opera itu benar-benar ada dalam bentuk yang bagaimana dan dengan alasan apa. Segala kekejian dan kecurangan yang dilakukan memiliki latar belakang tersendiri. Kita bisa tetap mengutuknya, atau berbalik kagum kepadanya, atau justru kasihan dengannya. Hingga akhir halaman buku ini, masih akan ada misteri yang tersisa, tapi kita akan tahu ke mana misteri itu akan mengarah.

4/5 untuk misteri sejarah yang penuh cinta.

‘Seseorang harus membiasakan diri terhadap segala sesuatu dalam hidup ini, termasuk keabadian.’ (p.184)

The rumours about The Phantom of The Opera was spreading at Paris in 19th century. Gaston Leroux tried to find out the facts about The Phantom, and he presented it through this book.

I really love this book, it successfully brought me into opera’s atmosphere, and ghostly atmosphere too. I could enjoy the descriptions of the setting and the characters’ feelings. I was terrified when The Phantom made terrors, I felt pity for Christine Daaé and Vicomte Raoul de Chagny’s love, I felt sorry for Erik’s past, I felt garbled at everything that happened at the opera.

At first, I was unsure with the author’s writing style. I thought it will be boring because it was like an investigation report. But the fact, this book is unexpectedly awesome!

Review #9 of Classics Club Project

Julius Caesar – William Shakespeare

Review in Bahasa Indonesia and English

Julius CaesarJudul buku : Julius Caesar
Penulis : William Shakespeare (1599)
Penerbit : World Library, Inc, Project Gutenberg, November 1997 [Etext #1120]
Tebal buku : 183 halaman

This day I breathed first: time is come round,     
And where I did begin, there shall I end;     
My life is run his compass.

(Cassius, Act V Scene III)

Warga Roma sedang mengalami hiruk-pikuk menjelang penobatan raja yang baru. Dukungan rakyat tertuju pada Julius Caesar, terutama setelah insiden penolakan mahkota yang ditawarkan oleh Mark Antony, sehingga seolah-olah Caesar tidak menginginkan jabatan itu. Sedikit kesan tentang karakter Julius Caesar saya singgung di sini. Di sisi lain, ada pihak yang tidak suka dengan Caesar. Cassius, yang merasa bahwa Caesar tidak layak menjadi raja, mempengaruhi Brutus—salah seorang orang terdekat Caesar—untuk mencegah penobatan Caesar pada pertengahan Maret (ides of March). Dengan menyanjung-nyanjung Brutus, Cassius menyatakan bahwa Brutus dapat menjadi raja yang lebih baik dibandingkan Caesar.

Censure me in your wisdom, and awake your senses, that you may the better judge.
(Brutus, Act III Scene II)

Rencana konspirasi pun disusun, sementara tanda-tanda bahaya sudah tampak di sekitar Caesar, yang sayangnya diabaikan olehnya. Pada hari tersebut, para konspirator membunuh Caesar, yang diakhiri dengan tikaman dari Brutus. Konspirasi selanjutnya adalah bagaimana memenangkan dukungan rakyat Roma. Mark Antony yang merasa sedih dengan terbunuhnya Caesar meminta untuk diberi kesempatan berpidato di pemakaman Caesar. Brutus—dengan dukungan dari Cassius—mengemukakan pidatonya tentang alasannya membunuh Caesar.

Not that I loved Caesar less, but that I loved Rome more. Had you rather Caesar were living and die all slaves, than that Caesar were dead to live all freemen?

Brutus menyatakan bahwa sifat ambisius Caesar akan menyengsarakan rakyat di kemudian hari. Pidato dari Antony pun tak kalah dalam mencari simpati rakyat. Dengan mengingatkan rakyat akan kesan baik Caesar, dan menyinggung insiden penolakan mahkota. Kalimatnya yang halus, tetapi justru berkesan, terutama karena diucapkan setelah Brutus.

I come to bury Caesar, not to praise him.

Tak ayal setelah itu perang pun terjadi, antara kubu Antony dan kubu Brutus. Peperangan yang tidak hanya dipenuhi oleh pembunuhan, tetapi juga diwarnai oleh pengkhianatan, dan—lebih tragis—bunuh diri. Sebagaimana genre drama ini, tragedi, pengkhianatan dan perebutan kekuasaan adalah hal yang biasa dalam politik. Tak ada akhir yang bahagia untuk pertarungan semacam ini.

This is a sleepy tune. O murtherous slumber,
Layest thou thy leaden mace upon my boy     
That plays thee music? Gentle knave, good night.     
I will not do thee so much wrong to wake thee.
(Brutus, Act IV Scene III)

As I mentioned here about the character of Julius Caesar, not all people gave support to Caesar to be crowned. One of them was Cassius. He approached Brutus—one of Caesar’s dearest friend—flattered him as a better leader than Caesar. Brutus ended up affected by Cassius’ words and worked on conspiracy to murder Caesar. After the murder, there were two sides, Brutus and Mark Antony—who was dearest friend of Caesar too. That two sides tried to won Romans’ hearts and votes. And, inevitably, war happened, which was filled with murders, betrayals, and—more tragic—suicides.

Politics, conspiracy, a sudden seizure of power, never gave a happy ending. This is only one tragedy of human being that portrayed by Shakespeare through this historical event.

If we do meet again, why, we shall smile;     
If not, why then this parting was well made.

(Brutus, Act V Scene I)

4/5 stars.

Review #1 of Let’s Read Plays