Night – Elie Wiesel

nightTitle : Night (La Nuit)
Author : Elie Wiesel (1958)
Translator : Stella Rodway
Publisher : Bantam Books
Edition : 88th printing, 1982
Format : Paperback, xi + 111 pages

Night adalah sebuah memoar Eliezer saat dirinya baru hendak beranjak remaja dan diseret ke kamp konsentrasi. Lahir dan besar di Sighet, Transylvania, Elie adalah anak yahudi yang memiliki pemahaman yang unik mengenai kitab sucinya, serta tingkat keyakinan yang lebih daripada anak-anak seusianya, hingga menimbulkan kehausan untuk belajar lebih dan lebih lagi. Namun, segalanya berubah saat Gestapo memasuki kotanya dan mengungsikan para penghuninya entah ke mana.

Keluar dari Sighet adalah awal penderitaan. Mereka dipaksa meninggalkan rumah dan harta mereka, makan seadanya, kehausan, kepanasan, berjalan kaki jauh, berdiri berdesak-desakan dalam sebuah gerbong, dan dibawa entah ke mana. Setibanya di Birkenau, mereka dihadapkan pada bayangan kematian, bayangan akan dijadikan bahan bakar, dibakar hidup-hidup. Mereka yang lolos seleksi sebagian dibawa ke kamp konsentrasi Auschwitz, tempat mereka dipaksa bekerja demi sekadar menunjukkan bahwa hidup mereka masih bermanfaat. Di sinilah Elie dan ayahnya dibawa, terpisah dari ibu dan saudarinya.

Hari-hari penderitaan dan ketakutan dimulai, dan yang menjadi fokus Elie pada saat itu hanyalah bagaimana caranya bertahan hidup tanpa harus terpisah dari ayahnya. Makian, pukulan, siksaan, kelaparan, kurang tidur, adalah hal yang lumrah mereka hadapi. Untuk bertahan hidup, mereka harus mematikan segala rasa, demi mempertahankan kekuatan untuk sekadar tetap bernapas dan tetap bekerja, sebab berhenti bekerja berarti mati.

Bread, soup—these were my whole life. I was a body. Perhaps less than that even: a starved stomach. The stomach alone was aware of the passage of time. (p.50)

Seberapa lama manusia dapat bertahan dengan kondisi semacam itu? Belum lagi tambahan siksaan bekunya musim dingin, kelelahan fisik dan mental, membuat satu per satu dari mereka tumbang dengan sendirinya, atau ditumbangkan karena sudah terlalu lemah. Buku ini menggambarkan betapa buruknya seorang manusia dapat bertindak terhadap manusia lain, dengan berbagai macam alasan. Apakah bangsa yang berbudaya akan memperlakukan manusia lain seperti binatang, meski mereka berbeda? Apakah seorang manusia yang memiliki hati nurani, tega menyiksa manusia lain secara perlahan-lahan dan melihatnya mati perlahan-lahan?

All round me death was moving in, silently, without violence. It would seize upon some sleeping being, enter into him, and consume him bit by bit. (p.85)

Buku ini dituliskan dengan emosi yang sangat terasa. Masih terlihat bagaimana kemarahan, kesedihan, ketakutan, kepasrahan, keputusasaan, mewarnai paragraf demi paragraf pengalaman hidup penulis. Membaca buku ini, saya mendapatkan kesan perjuangan seorang Elie yang (berusaha untuk) kuat, Elie yang penuh kemarahan, dan kemudian diakhiri dengan sebuah kejujuran yang menyakitkan, tentang seberapa jauh seseorang—seorang remaja—mencapai batasnya, batas egonya, ego bertahan hidup.

Banyak kontroversi yang ditimbulkan dari tragedi holocaust ini. Sebagian menganggap ini hanyalah isu dan kisah fiktif yang disebarkan untuk meraih simpati dunia. Namun, ada sebuah pernyataan yang menurut saya patut direnungkan.

Having confronted the story, we would much prefer to disbelieve, treating it as the product of a diseased mind, perhaps. And there are those today who—feeding on that wish, and on the anti-Semitism that lurks near the surface of the lives of even cultured people—are trying to persuade the world that the story is not true, urging us to treat it as the product of diseased minds, indeed. They are committing the greatest indignity human beings can inflict on one another: telling people who have suffered excruciating pain and loss that their painand lost were illusions. (Robert McAfee Brown, Preface for the Twenty-fifth Anniversary Edition, p.v-vi)

Jadi, terlepas dari benar atau salahnya bagian sejarah yang ini, pembantaian terhadap rakyat sipil, terhadap orang-orang tak bersalah, terhadap wanita dan anak-anak, adalah hal yang tidak bisa dibenarkan, apapun alasannya. Hal ini termasuk pula pembantaian era modern yang masih terjadi saat ini; Israel terhadap Palestina, ISIS, Suriah, sampai yang terhangat, pembantaian Muslim Rohingya. Dalam Islam—agama yang saya pahami—pembunuhan hanya dibenarkan dalam rangka pembelaan diri. Tidak ada kebenaran dalam pembunuhan atas dasar perbedaan, invasi, ataupun hasrat duniawi lainnya. Tidak ada manusia yang lebih tinggi derajatnya daripada manusia lain berdasarkan suku bangsa, warna kulit, sejarah keturunan, kekayaan, ataupun kekuasaan, hingga dia berhak untuk melakukan teror dan pembunuhan.

Pada akhirnya, Eliezer menunjukkan dampak dari agresi dan ego manusia-manusia yang merasa paling tinggi derajatnya, terhadap seorang bocah yang belum mengerti dunia. Anak-anak seperti Eliezer belum mengerti bahwa kebencian bisa timbul tanpa alasan yang masuk akal, dengan cara-cara di luar keadilan yang mereka pahami. Seorang anak, seharusnya menikmati masa kecilnya, bukan menanggung penderitaan akibat keserakahan orang dewasa, bukan terpaksa menanggung beban kehidupan lebih awal, yang pada akhirnya memakan hati nurani mereka, mencabik-cabik perasaan dan kehidupan mereka sejak dini. 3/5 bintang untuk malam yang panjang bagi Elie.

Here or elsewhere—what difference did it make? To die today or tomorrow, or later? The night was long and never ending. (p.93)

Mei : Hak Asasi Manusia

Mei : Hak Asasi Manusia dan Kritik Sosial

Review #20 for Lucky No.15 Reading Challenge category One Word Only!

4 responses to “Night – Elie Wiesel

  1. kebayang mirisnya baca buku ini -aku paling ngga tahan baca buku2 holocaust yang terlalu vivid penjelasannya, huhu… dan baru tahu juga banyak yang masih nganggep holocaust itu fiktif…

    • Aku jg baru tahu dr preface bukunya klo ternyata sudah lama diragukannya, kupikir baru2 ini. Tapi yaa, siapa yg bisa pasti soal sejarah, sejarah kan bisa ‘dibuat’.

  2. Pingback: Lucky No. 15 Reading Challenge Wrap Up | Bacaan B.Zee

  3. Pingback: 2015 Reading Challenges: Wrap Up | Bacaan B.Zee

Leave a comment