Bumi Manusia – Pramoedya Ananta Toer

1398034Judul : Bumi Manusia (Tetralogi Pulau Buru #1)
Penulis : Pramoedya Ananta Toer (1975)
Penyunting : Astuti Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Edisi : Cetakan 18, Februari 2012
Format : Paperback, 538 halaman

“… Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa.” (Nyai Ontosoroh, hal.139)

Minke bukanlah nama sebenarnya, tetapi nama itu melekat pada tokoh utama kita seumur hidupnya. Meski seorang Pribumi, dia mendapatkan keistimewaan untuk sekolah di HBS karena pengaruh orang tuanya. Namun demikian, prestasinya tak kalah dengan teman-temannya yang berdarah Eropa. Minke bahkan melihat keagungan ilmu pengetahuan, berniat untuk menguasainya sepenuhnya, demi kemajuan bangsa dan negaranya, Hindia Belanda—saat itu.

Suatu ketika, seorang temannya di HBS, Robert Suurhof, mengajaknya ke rumah seorang kawannya, Robert Mellema, yang ternyata adalah putra seorang gundik yang termasyhur, Nyai Ontosoroh. Sebagai seorang gundik Belanda, Nyai Ontosoroh berbeda dengan yang lainnya. Di saat orang-orang lain memandang Nyai sebagai status sosial yang rendah karena tidak memiliki status perkawinan, Minke melihat kualitas yang berbeda dari Nyai yang satu ini. Nyai Ontosoroh tampak cerdas, fasih berbahasa Belanda, gemar membaca, paham mengenai berbagai hal, serta sukses mengelola perusahaan pertanian milik Herman Mellema—ayah Robert, yang kesemuanya dipelajari secara otodidak.

Oleh karena tidak dapat membaur dengan kedua Robert, yang sangat bangga dengan darah Eropanya meski keduanya adalah Indo (keturunan Eropa-Pribumi), Minke pun disambut oleh bungsu Mellema, Annelies. Gadis cantik yang polos, kekanak-kanakan, tetapi pandai dalam urusan pertanian dan peternakan—untuk membantu ibunya—ini telah merebut hati Minke. Pun sebaliknya, karena Annelies sangat dekat dengan ibunya, sehingga dia lebih menganggap dirinya sebagai seorang Pribumi, tak ada batas antara dirinya dengan Minke. Setelah kunjungannya, Minke menjadi dekat dengan Nyai Ontosoroh dan Annelies, hal yang harus dibayarnya dengan pergunjingan dan pengasingan dari orang-orang di sekitarnya.

Dengan setting akhir abad kesembilan belas, Bumi Manusia menggambarkan keadaan Hindia Belanda yang masih dalam masa penjajahan Belanda, dari sudut pandang Pribumi yang hidup bersisian dengan bangsa kolonial ini. Pandangan hidup Minke terhitung cukup unik dibandingkan bangsanya saat itu—oleh karena pendidikan yang diperolehnya juga. Dia mencintai ilmu pengetahuan yang dipelajarinya di HBS dan penemuan-penemuan manusia yang dihasilkan ilmu pengetahuan yang dibacanya di koran-koran, tetapi dia menentang segala bentuk tindakan yang merendahkan bangsanya—baik dari orang Eropa, maupun dari Pribumi sendiri. Dia mengadopsi pemikiran liberal dari Eropa—terutama hasil pengajaran Magda Peters, guru yang paling disayangnya–yang dianggapnya jauh lebih baik daripada prinsip hidup patriarki nenek moyangnya, kemudian menuangkannya melalui tulisan-tulisan yang dimuat di koran. Sampai dia melihat sendiri, bagaimana semua yang dipelajarinya itu bisa jadi tak sesuai dengan kenyataan, bangsa Eropa pun tak semuanya bertindak sesuai idealisme yang mereka elu-elukan.

Kemudian Papa bilang: Dia bangga sebagai orang Jawa, dan itu baik selama dia punya perasaan hargadiri sebagai pribadi mau pun sebagai anak bangsa. Jangan seperti bangsanya pada umumnya, mereka merasa sebagai bangsa tiada tara di dunia ini bila berada di antara mereka sendiri. Begitu di dekat seorang Eropa, seorang saja, sudah melata, bahkan mengangkat pandang pun tak ada keberanian lagi. (Miriam de la Croix, hal.286-287)

Menurut saya, penulis telah meramu kisah manusia di buku ini dengan sangat apik. Ada sebuah potret yang digambarkannya dalam setiap kejadian yang dikisahkannya. Bagaimana bangsa Belanda yang menyombongkan diri sebagai bangsa Eropa yang beradab, nyatanya tak jauh berbeda dari orang Pribumi primitif saat berhubungan dengan keunggulan ras. Bagaimana adat Pribumi yang sangat mengagungkan keturunan, sehingga terbagi menjadi kelas-kelas yang merendahkan martabat mereka sendiri sebagai manusia. Bagaimana seorang Indo akan menyembunyikan, bahkan melupakan, darah Pribuminya yang dianggap lebih rendah.

“Kalau Pribumi tak punya nama keluarga memang mereka tidak atau belum membutuhkan, dan itu tidak berarti hina. Kalau Nederland tak punya Prambanan dan Barabudur, jelas pada jamannya Jawa lebih maju daripada Nederland. Kalau Nederland sampai sekarang tak mempunyainya, ya, karena memang tidak membutuhkan …..” (Magda Peters, hal.322)

“… Sekarang keadaan sudah begini aman, tidak seperti aku masih kecil dulu, apalagi semasa kecil Nenendamu. Orang bilang: semua takut pada Belanda maka keadaan jadi lebih aman. Memang Belanda ini tidak sama, berbeda dari nenek-moyangmu. Biar Belanda ini sangat, sangat berkuasa, mereka tidak pernah merampas istri atau putri orang seperti raja-raja nenek-moyangmu dulu.” (Bunda, hal.457-458)

Kemudian perang itu sendiri, yang meski tak dialami sendiri oleh karakter kita, tak dipungkirinya sebagai hal yang patut diperjuangkan. Minke tak mengalami peperangan yang harus mengadu nyawanya, tetapi dia melakukan peperangannya sendiri dengan pena. Pun buku ini menggambarkan situasi peperangan yang dialami bangsa Hindia saat itu melalui mulut veteran Belanda yang telah berhenti dari militer dan berusaha bertahan hidup di Hindia Belanda ini. Mereka yang telah begitu membenci peperangan, tetapi tak memiliki daya lagi untuk memperjuangkan apa yang menurut mereka benar.

“Perang kolonial dalam duapuluhlima tahun belakangan ini tak lain dari pada kehendak modal, kepentingan pasaran buat kelangsungan hidup modal di Eropa sana. Modal telah menjadi begitu kuasanya, maha kuasa. Dia menentukan apa harus dilakukan ummat manusia dewasa ini.”
“Perang selamanya adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang,” Télinga menengahi.
“Tidak, Tuan Télinga,” Marais membantah, “tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan-perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini … ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga dari pada hanya mati, hidup, atau kalah-menang.”
(Jean Marais, hal.334)

Karakter Nyai Ontosoroh pun cukup menarik. Latar belakang kehidupannya yang keras menjadikannya seorang wanita yang tangguh menghadapi apa pun. Namun, suatu ketika, pada akhir kisah ini, akan ada hal yang tak bisa dihadapinya. Pada saat itu, ada satu kesalahannya di masa lalu yang memberikan balasannya. Sesuatu yang saya pribadi menganggapnya layak untuk ditanggung oleh sang Nyai karena dia pernah begitu  mudah menghakimi.

Bukan pertama kalinya saya membaca tulisan Pram, tetapi biasanya saya hanya membaca novella yang relatif sangat pendek. Dengan membaca karyanya yang lebih panjang, saya jadi semakin menikmati gaya penulisannya. Penulis sangat lentur dalam menyusun kata-katanya, memilih metafora-metafora, menyuguhkan sarkasme, bahkan menyisipkan beberapa humor di sana-sini—tidak dominan, namun sangat menyegarkan.

Mr. Deradera Lelliobuttockx ….”
Untuk waktu agak lama kuhafal dan kucoba menuliskan namanya. Belum pernah aku bertemu dengannya pribadi. Mama sering datang padanya untuk urusan hukum. Menurut gambaranku tentunya ia bertubuh tambun dan besar seperti Tuan Mellema, berbulu lebat dan pirang. Dari namanya ia kubayangkan lebih mendekat sebangsa jin. Pasti ahlihukum ampuh.
(hal. 487)

Di kantor Mama sedang berhadapan dengan seorang lelaki Eropa, bertubuh kecil seperti kelingking, mungkin hanya setinggi pundakku, kurus dan gépéng. Kepalanya botak licin, matanya agak sipit. Ia berkacamata kodok. Mama memperhatikannya membacai surat-surat dari Pengadilan Amsterdam untuk Annelies. Itu rupanya Mr.Deradera Lelliobuttockx. Jelas ia bukan sebangsa jin. Dan dialah ahlihukum Mama selama ini. (hal. 491)

Bagi yang belum terbiasa, mungkin agak aneh membaca tulisan Pram yang belum menggunakan ejaan yang disempurnakan—dalam hal penyusunan kalimat, penulisan frasa, maupun penggunaan kata sambung. Akan tetapi, bagi saya, ini malah menjadi khazanah baru dalam perbendaharaan bahasa saya. Setidaknya, saya lebih bisa merasakan suasana ‘klasik’ dalam fiksi sejarah ini.

4/5 bintang untuk sudut pandang yang lain dari sejarah perjuangan.

Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya. (hal.186)

Review #6 for Lucky No.14 Reading Challenge  category First Letter’s Rule

Februari #1 : Fiksi Sejarah Indonesia

15 responses to “Bumi Manusia – Pramoedya Ananta Toer

  1. kayaknya lebih seru buku pertama daripada buku kedua

  2. My wishlist (6_6) … klo pas nemu di obralan dan bagus kondisinya colekin ya mbak *buat genapin koleksi serinya*

  3. Hoh, salut sama yang berhasil selesai baca buku ini, aku masih.. Mikir2 xD

  4. mungkin nggak ya buku2 ini dicetak ulang? kayaknya udah susah banget dicari ya…

  5. mantep ni kayaknya bukunya mbak Bzee 😀

  6. Pingback: Scene on Three (33) | Bacaan B.Zee

  7. Pingback: Second Year Update of The Classics Club Project | Bacaan B.Zee

  8. Pingback: Book Kaleidoscope 2014 – Day 4: Top Five Female Characters | Bacaan B.Zee

  9. Pingback: Lucky No. 14 Reading Challenge Wrap Up | Bacaan B.Zee

Leave a comment