Judul : Cerita Calon Arang
Penulis : Pramoedya Ananta Toer (1954)
Penerbit : Lentera Dipantara
Edisi : Cetakan 5, Mei 2007
Format : Paperback, 94 halaman
Adalah sebuah negara. Daha namanya. Daha yang dahulu itu kini bernama Kediri. Negara itu berpenduduk banyak. Dan rata-rata penduduknya makmur.
. . . .
Negara Daha termasyhur aman. Tak ada kejahatan terjadi, karena tiap orang hidup makmur, cukup makan dan cukup pakaian. Karena makmurnya itu makanan penduduk teratur, dan karena itu pula tak ada penyakit berjangkit.
(hal.9)
Namun ketenangan dan kemakmuran itu terganggu lantaran Calon Arang, seorang tukang teluh (dukun yang merusak orang dengan ilmu gaib) dari dusun Girah menyebarkan kutukannya ke penjuru negeri. Pasalnya adalah putri satu-satunya, Ratna Manggali, tak juga diperistri orang karena takut pada ibunya. Berbagai macam cara diusahakan oleh Baginda Raja untuk menghentikan teror dan kekacauan yang diciptakan oleh Calon Arang.
Adalah Empu Baradah, seorang pertapa dari Lemah Tulis, yang terkenal dengan kebaikan dan ilmunya kemudian diperintahkan untuk menghentikan Calon Arang. Dengan siasat, kecerdikan dan kekuatannya, Empu Baradah berusaha menciptakan Daha yang aman dan makmur seperti sedia kala.
Ia selalu berjalan bergegas. Sekalipun sudah tua, ia masih kuat, karena selain banyak mempelajari kitab, ia pun banyak berolahraga dan kerja berat mengolah ladangnya. (hal.59)
Kisah ini merupakan legenda yang secara turun-temurun diceritakan dari mulut ke mulut. Pram menuliskannya kembali, dengan gaya penceritaan dongeng untuk anak-anak. Kisahnya sederhana, dengan pesan moral yang jelas, untuk senantiasa menyebarkan kebaikan, giat menuntut ilmu dalam bidang apa pun, sopan santun, dan lain sebagainya.
“Semua manusia bersaudara satu sama lain. Karena itu tiap orang membutuhkan pertolongan harus memperoleh pertolongan. Tiap orang keluar dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara.” (hal.21)
Ini adalah fiksi pertama Pram yang saya baca. Saya menikmati rangkaian kalimat beliau, sangat berbeda dengan bahasa masa kini, tapi terkesan indah dan tetap mudah untuk dipahami. Alur kisahnya mengalir, meski terkadang pada beberapa paragraf saya merasakan adanya pengulangan fakta yang sudah tercakup dalam kalimat sebelumnya.
Buku ini memang ditulis untuk anak-anak, tapi menurut saya kisah ini terlalu gelap untuk anak usia dini. Banyaknya kekerasan dan ide-ide yang selayaknya dicerna oleh anak yang sudah agak besar. Saya rasa usia 13 tahun cukup aman. 3/5 untuk dongeng si tukang teluh.
Review #1 untuk Membaca Sastra Indonesia 2013 (Klasik #1)
Review #2 for What’s in a Name Challenge 2013