Category Archives: J. R. R. Tolkien

The Two Towers – J. R. R. Tolkien

lotr2Title : The Two Towers (The Lord of the Rings #2)
Author : J. R. R. Tolkien (1954)
Translator : Gita Yuliani K.
Publisher : Gramedia Pustaka Utama
Edition : Cetakan ketujuh, Agustus 2013
Format : Paperback, 432 pages

(Review mengandung spoiler buku #1)

Para pengkhianat selalu penuh curiga. (Gandalf, p.223)

Bagian Kedua The Lord of the Rings ini terdiri atas Buku Tiga dan Buku Empat. Melanjutkan Buku Dua di Bagian Pertama (The Fellowship of the Ring), rombongan kini terpecah menjadi dua kelompok; Frodo dan Sam yang terpisah langsung menuju ke Mordor, dan sisanya; Boromir, Aragorn, Merry, Pippin, Gimli, dan Legolas, yang akan mengalami petualangan seru di Buku Tiga.

Boromir yang sempat berselisih dengan Frodo, yang membuat pengemban cincin tersebut memutuskan untuk memisahkan diri dari rombongan, menemui akhirnya di tangan Orc yang diperintahkan menangkap para Halfling, alias hobbit. Beruntung Frodo dan Sam sudah pergi, tapi malang bagi kedua hobbit yang tersisa, yang menjadi sasaran penangkapan para Orc. Aragorn, Gimli, dan Legolas pun memutuskan untuk mengikuti jejak para Orc untuk menyelamatkan kawan mereka terlebih dahulu. Pelacakan panjang dan rumit ini diceritakan melalui dua sudut pandang; pengejar dan terculik, sehingga alur seringkali mundur kembali saat terjadi perubahan sudut pandang.

Melalui tanda-tanda dan jejak yang ditinggalkan, diduga bahwa para Orc ini bukan hanya anak buah Mordor yang selama ini mereka ketahui, tapi sebagian adalah Orc yang berada di bawah Isengard, kaki tangan Saruman sang penyihir yang dibutakan oleh kekuasaan. Perjalanan mempertemukan mereka dengan banyak makhluk; kaum penunggang dari Rohan yang memiliki masalah dengan rajanya, kaum Ent yang marah karena kerusakan yang ditimbulkan para Orc, Penunggang Putih, dan kisah-kisah di balik mereka. Seperti sebelumnya, penulis menceritakan latar belakang dan karakteristik dari karakter-karakternya secara mendetail, sejarah, serta tujuan-tujuan mereka, dengan luwes dan tidak membosankan.

… namaku tumbuh sepanjang waktu, dan aku sudah hidup lama sekali; jadi, namaku seperti cerita panjang. Nama sebenarnya selalu menceritakan kisah dari benda-benda yang memiliki nama itu, dalam bahasaku, bahasa Ent kuno, bisa dikatakan begitu. Bahasa itu bagus, tapi makan waktu lama sekali untuk mengatakan sesuatu dalam bahasa itu, karena kami tak pernah mengatakan apa pun dalam bahasa itu, kecuali memang pantas menghabiskan waktu lama untuk mengatakannya, dan mendengarkannya. (Treebeard, p.79)

Kau mungkin tidak tahu betapa kuatnya kami. Mungkin kau pernah dengar tentang troll? Mereka luar biasa kuat. Tapi troll hanya tiruan, dibuat oleh Musuh di Zaman Kegelapan Besar, untuk mengejek para Ent, seperti Orc juga merupakan penghinaan terhadap para Peri. Kami lebih kuat daripada troll. (Treebeard, p.105)

Puncak Buku Tiga adalah penyerangan kepada Isengard oleh pihak-pihak ‘baik’ tersebut yang terjadi di Helm’s Deep. Peperangan yang polanya tertebak itu (perencanaan-penyerangan-tersudut-datang bantuan) digambarkan secara mendetail sekaligus tetap menarik. Apalagi saat akhirnya muncul gambaran sesuatu yang misterius, yang agak mengerikan, tetapi menuntut pembaca untuk menebak sendiri apa yang terjadi.

Memasuki Buku Empat, cerita terfokus seluruhnya pada perjalanan Frodo dan Sam. Seperti yang sudah bisa diduga, kekuatan cincin yang dibawa Frodo menarik sesosok pengikut yang tidak diharapkan, Gollum. Perjalanan yang tak mudah ini menjadi semakin sulit dengan adanya pengintai yang bermaksud jahat. Kedua hobbit harus mengatur strategi bagaimana agar mereka aman dalam perjalanan dan istirahat, bahkan bagaimana memanfaatkan penguntit tersebut agar berguna bagi perjalanan mereka ke negeri asing tersebut.

Di kedua sisi dan di depan, tanah basah dan lumpur luas membentang ke selatan dan timur, masuk ke cahaya yang kabur. Kabut mengeriting dan naik seperti asap, dari genangan gelap dan tak menyenangkan. (p.274)

Bagi saya, bagian perjalanan mereka agak terlalu monoton. Walaupun pembaca disuguhkan gambaran geografis rute perjalanan Frodo secara mendetail, hingga bahkan kita bisa menggambar peta dari deskripsi itu—pun dengan pilihan kata yang apik—tidak banyak konflik berarti yang menimbulkan rasa penasaran. Baru di beberapa bab akhir, ketika mereka mulai mendekati Mordor, cerita berkembang menjadi seru, dan emosi pembaca mulai dirangsang.

Saya suka dengan deskripsi yang kaya, indah, dan tidak biasa. Kata-kata yang biasa pun bisa dibuat menjadi kalimat yang luar biasa jika sang penulis piawai merangkainya. Hal inilah yang membuat pengalaman membaca serial ini menjadi menyejukkan.

“Seolah-olah ada sumur yang sangat dalam di balik matanya, terisi berabad-abad ingatan dan pikiran yang lambat, panjang, dan tenang; tapi permukaannya bersinar-sinar dengan masa kini: seperti matahari yang bercahaya di atas daun-daun paling luar sebuah pohon besar, atau di atas riak-riak telaga yang sangat dalam. ….” (Pippin, p.77)

Interaksi antar karakter di buku ini tentunya semakin berkembang. Dalam buku ini, kita diajak mengenal kedua hobbit ceria, Merry dan Pippin, lebih dalam ketimbang buku sebelumnya. Termasuk gejolak di Rohan yang melibatkan Raja Théoden, Éomer putranya, Eowyn kemenakannya, serta Gríma sang penasihat yang dijuluki Wormtongue karena kelicikannya. Juga, yang tak berubah, gambaran kesetiaan Sam kepada Frodo.

Mendadak ia teringat ketika Frodo berbaring tidur di rumah Elrond, setelah terluka parah. Saat itu, ketika menjaganya, Sam memperhatikan bahwa pada saat-saat tertentu ada cahaya yang bersinar redup dari dalam tubuh Frodo; tapi kini cahaya itu semakin terang dan kuat. Wajah Frodo damai, bekas-bekas ketakutan dan kesusahan sudah hilang; tapi ia tampak tua, tua dan elok, seolah-olah pahatan tahun-tahun yang membentuknya sekarang tersingkap dalam banyak garis halus yang sebelumnya tersembunyi, meski identitas wajahnya tidak berubah. (p.308)

4/5 bintang untuk penyelamatan Minas Tirith dan penyelundupan ke Minas Morgul.

Kaupikir balairung-balairung tempat rajamu tinggal di Mirkwood itu indah? Kaum Kurcaci membantu membangunnya di masa silam. Itu hanya gubuk kalau dibandingkan dengan gua-gua yang kulihat di sini: balairung luas tak terhingga, diisi musik abadi air yang berdenting ke dalam kolam-kolam, seindah Kheled-zâram di bawah sinar bintang. (Gimli, p.181)

Review #32 of Classics Club Project

A Tolkien Blog Party of Special Magnificence

I should post this earlier this week, but the situation didn’t allow me to sit calmly and wrote for this magnificence Tolkien Blog Party, hosted by Hamlette. I must admit that I haven’t been a huge Tolkien reader, not yet. I’ve only watched the movies and read The Hobbit and The Fellowship of the Ring. But, I am sure I will read all his works once I got the chance. So, here we go.

1.  What draws you to Tolkien’s stories?  (The characters, the quests, the themes, the worlds, etc.)
Basically, I like high fantasy, especially classics. Though, after entering the world, I think I like Tolkien’s writing. He combined quests and characters perfectly, he put deep meaningful situations, and above all, his imaginations were so neat.

2.  What was the first Middle Earth book you read and/or movie you saw?  What did you think of it?
I watched the movie first, The Lord of the Rings Trilogy. I was impressed but I didn’t have the opportunity to read the book back then. I read The Hobbit some years ago and I was impressed way more than when I watched the movies. The fact is, I love it very much, in goodreads scale, I gave it 5 stars with no doubt. It gave me warm and happy feeling, the same reason why I love children’s literature.

3.  Name three of your favorite characters and tell us why you like them.
So far, I like: 1. Samwise Gamgee for his loyalty and bravery; 2. Lady Galadriel, I like strong female characters (although I may find others later); and 3. Aragorn for his humanly heroic actions, despite the fact that he should be a king.

4.  Are there any secondary characters you think deserve more attention?
Pass for now.

5.  What Middle Earth character do you relate to the most?
Bilbo Baggins, maybe. I found it’s really hard to get out from comfort zone, but once I’m out, I’m enjoying it.

6.  If you could ask Professor Tolkien one Middle Earth-related question, what would you like to ask him?
If you’re given a chance to write one more thing about Middle Earth, what would it be?

7.  Are there any pieces of Middle Earth merchandise you would particularly like to own, but don’t?
Any pieces are welcome, I haven’t had one. Particularly, I would like to have the ring, or hobbit hole miniature. Or anything shaped Smaug.

8.  What battle would you absolutely not want to be part of?
Every battle, I can’t imagine myself being a part of any of it.

9.  Would you rather eat a meal at Rivendell or Bag End?
It’s hard to choose, I always imagine Bag End as a homey place, but I always want to experience Elvish magical charm. So, it must be at Rivendell.

10.  List up to ten of your favorite lines/quotes from the books or movies.
Because I have only reviewed The Fellowship of the Ring, I just can quote from that book.

Nonetheless, ease and peace had left this people still curiously tough. They were, if it came to it, difficult to daunt or kill; and they were, perhaps, so unwearyingly fond of good things not least because they could, when put to it, do without them, and could survive rough handling by grief, foe, or weather in a way that astonished those who did not know them well and looked no further than their bellies and their well-fed faces. (Concerning Hobbits)

What do you mean? Do you wish me a good morning, or mean that it is a good morning whether I want it or not; or that you feel good on this morning; or that it is a morning to be good on? (Gandalf)

Among the Wise I am the only one that goes in for hobbit-lore: an obscure branch of knowledge, but full of surprises. Soft as butter as they can be, and yet sometimes as tough as old tree-roots. (Gandalf)

All we have to decide is what to do with the
time that is given us. (Gandalf)

Many that live deserve death. And some that die deserve life. Can you give it to them? Then do not be too eager to deal out death in judgement. For even the very wise cannot see all ends. (Gandalf)

You can trust us to stick with you through thick and thin–to the bitter end. And you can trust us to keep any secret of yours–closer than you keep it yourself. But you cannot trust us to let you face trouble alone, and go off without a word. We are your friends, Frodo. (Merry)

I am learning a lot about Sam Gamgee on this journey. First he was a conspirator, now he’s a jester. He’ll end up by becoming a wizard – or a warrior! (Frodo)

Well, let folly be our cloak, a veil before the eyes of the Enemy! For he is very wise, and weighs all things to a nicety in the scales of his malice. But the only measure that he knows is desire, desire for power; and so he judges all hearts. Into his heart the thought will not enter that any will refuse it, that having the Ring we may seek to destroy it. If we seek this, we shall put him out of reckoning. (Gandalf)

`Faithless is he that says farewell when the road darkens,’ said Gimli.
‘Maybe,’ said Elrond, `but let him not vow to walk in the dark, who has not seen the nightfall.’

Torment in the dark was the danger that I feared, and it did not hold me back. But I would not have come, had I known the danger of light and joy. (Gimli)

Can go on if I should 🙂

I wish I would have more things to say by next year, if Hamlette threw the party again. See more here.

Scene on Three (69)

SceneOnThree

SoT pertama di 2015, hulloo… Bagaimana dengan tahun ini? Biasanya ada target-target baru yang hendak dicapai di tahun yang baru. Apa pun itu, semoga semangatnya tetap terjaga hingga akhir tahun.

Tanggal 3 Januari 2015 ini ternyata bertepatan dengan 123 tahun hari lahirnya salah satu penulis epic fantasy yang jenius, Prof. J. R. R. Tolkien. Jadi untuk memperingatinya, SoT hari ini saya ambil dari salah satu buku beliau, The Fellowship of the Ring.

Mereka melihat ke arah yang ditunjuknya, dan di depan sana tampak sungai itu mengalir turun ke palung lembah, mengalir terus dan menghilang di daratan-daratan yang lebih rendah, sampai lenyap dalam kabut keemasan.
“Di sana letaknya hutan Lothlórien!” kata Legolas. “Itu tempat tinggal bangsaku yang paling indah. Tak ada pohon seperti pohon-pohon di negeri itu. Karena di musim gugur daun-daunnya tidak jatuh, tapi berubah menjadi berwarna emas. Baru ketika musim semi datang dan tunas-tunas hijau mekar, mereka berguguran, lalu dahan-dahan penuh dengan bunga-bunga kuning; lantai hutan berwarna emas, atapnya pun emas, dan tiang-tiangnya dari perak, karena kulit batang pohon-pohon itu licin dan kelabu. Begitulah nyanyian kami tentang Mirkwood. Hatiku akan bahagia kalau berada di bawah atap hutan itu, dan musim semi sedang berlangsung!”
(p.411)

Lothlórien! Tempat paling indah yang digambarkan dalam buku ini memang Lothlórien, tempat Lord Celeborn dan Lady Galadriel, Lord dan Lady bangsa Galadhrim. Bahkan keindahan itu tidak ada di Rivendell, yang sama-sama merupakan negeri para Peri. Rasanya tenang sekali hanya dengan membaca deskripsi tempat itu, tempat yang sempurna untuk menyepi dari kejahatan dan kekuatan hitam. Hanya membayangkannya saja, rasanya sudah hangat.

Hari ini adalah SoT terakhir yang merangkai Birthday & 3rd Blogoversary Giveaway ya, jadi jangan lupa untuk memasukkan link SoT kalian hari ini (atau besok pagi, saya perpanjang waktu submit link sampai 4 Januari pukul 9.00 WIB), serta link review CLRP di kolom komentar hingga 5 Januari pukul 24.00 WIB.

Mekanisme Scene on Three:

  1. Tuliskan suatu adegan atau deskripsi pemandangan/manusia/situasi/kota dan sebagainya dari buku pilihan kalian ke dalam suatu post.
  2. Jelaskan mengapa adegan atau deskripsi itu menarik, menurut versi kalian masing-masing.
  3. Jangan lupa cantumkan button Scene on Three di dalam post dengan link menuju blog Bacaan B.Zee.
  4. Masukkan link post kalian ke link tools yang ada di bawah post Bacaan B.Zee, sekalian saling mengunjungi sesama peserta Scene on Three.
  5. Meme ini diadakan setiap tanggal yang mengandung angka tiga, sesuai dengan ketersediaan tanggal di bulan tersebut (tanggal 3, 13, 23, 30, dan 31).

The Fellowship of the Ring – J. R. R. Tolkien

lotr1Title : The Lord of the Rings #1 : The Fellowship of the Ring
Author : J. R. R. Tolkien (1954)
Translator : Gita Yuliani K.
Publisher : Gramedia Pustaka Utama
Edition : Cetakan ketujuh, Oktober 2007
Format : Paperback, 512 pages

(Review ini mengandung spoiler ringan)

Tiga Cincin untuk raja-raja Peri di bawah langit,
Tujuh untuk raja-raja Kurcaci di balairung batu mereka,
Sembilan untuk Insan Manusia yang ditakdirkan mati,
Satu untuk Penguasa Kegelapan di takhtanya yang kelam
Di Negeri Mordor di mana Bayang-bayang merajalela.
Satu Cincin ‘tuk menguasai mereka semua, Satu Cincin ‘tuk menemukan mereka,
Satu Cincin ‘tuk membawa mereka semua dan dalam kegelapan mengikat mereka
Di Negeri Mordor di mana Bayang-bayang merajalela.

Pada 22 September yang akan datang, Bilbo Baggins akan merayakan ulang tahunnya yang kesebelas puluh satu, bertepatan dengan ulang tahun ketiga puluh tiga keponakannya, Frodo Baggins. Bilbo mengangkat Frodo sebagai ahli warisnya 12 tahun yang lalu, membawanya untuk tinggal bersamanya di Bag End. Dan kini di usianya yang sudah mencapai 111, Bilbo memutuskan untuk meninggalkan segalanya, termasuk barang berharga yang didapatkannya pada perjalanannya bersama para Kurcaci, lebih dari 50 tahun yang lalu. Sebuah cincin.

Sepeninggal Bilbo, Gandalf menjelaskan pada Frodo perihal cincin itu, cincin yang diduga merupakan Cincin Utama, yang hendak diambil kembali oleh kekuatan jahat. Cincin itu bisa membuat pemakainya tak terlihat, tetapi dengan dipergunakannya Cincin itu, kekuatan jahat akan semakin mendekat. Sebuah kisah lama tentang perjalanan Cincin dari Sauron, Isildur, dan Gollum pun diceritakan. Cincin yang menimbulkan ketamakan itu hanya bisa dimusnahkan di Celah Ajal, di kedalaman Orodruin, dan hanya Frodo yang bisa melakukan tugas itu.

Ditemani oleh tiga kawan Hobbitnya yang setia—Samwise Gamgee, Peregrin Took alias Pippin, dan Meriadoc Brandybuck alias Merry—Frodo keluar dari Shire diam-diam, menghindari kejaran para Penunggang Hitam, melewati Old Forest, bergabung dengan Strider—seorang Penjaga Hutan—di Bree, hingga tiba di Negeri pada Peri, Rivendell. Dalam Rapat Dewan di Rumah Elrond, terbentuklah persekutuan yang akan menemani Frodo membawa Cincin sampai ke Mordor, yang terdiri dari empat Hobbit (Frodo sendiri, Sam, Pippin, dan Merry), dua Manusia (Aragorn dan Boromir), seorang Peri (Legolas), seorang Kurcaci (Gimli), dan Gandalf sang Penyihir. Kesembilan anggota rombongan tersebut pun berangkat, melewati Pegunungan Berkabut, melalui Tambang Moria yang penuh kegelapan, singgah di Lothlórien yang indah, kemudian perselisihan terjadi akibat Kutukan Isildur.

Buku pertama dari trilogi ini memang terkesan menitikberatkan pada setting dan ‘pembangunan’ dunia. Separuh bagian pertama menggambarkan perjalanan para Hobbit hingga ke Rivendell, kemudian bagian kedua barulah dimulai perjalanan kesembilan Pembawa Cincin. Dalam perjalanan mereka, penulis menggambarkan dengan sangat detail, mulai dari pemandangan yang tampak dari utara, selatan, barat, timur, suara-suara yang terdengar, suasana yang timbul, sifat-sifat makhluk penghuninya, dan sesekali sejarah terbentuknya tempat tersebut, atau peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di situ. Dengan begitu, dunia yang dibangunnya terasa benar-benar solid dan nyata. Meski demikian, tak berarti penulis mengabaikan unsur-unsur lain. Karakterisasi dalam buku ini juga dibangun cukup kuat. Terutama para Hobbit, yang sejak awal sudah memperlihatkan kesetiaan dan keberaniannya.

Di antara kaum Bijak, hanya aku seorang yang mau mempelajari adat-istiadat dan pengetahuan tentang hobbit: suatu cabang pengetahuan yang tak dikenal, tapi penuh kejutan. Mereka bisa selembek mentega, tapi kadang-kadang sekokoh akar pohon tua. (Gandalf, p.67)

Kau bisa mempercayai kami untuk mendampingimu dalam semua kesulitan—sampai akhir yang pahit. Dan kau bisa mempercayai kami untuk menyimpan rahasiamu yang mana pun—lebih rapat daripada kau sendiri bisa menyimpannya. (Merry, p.137)

Aku belajar banyak tentang Sam Gamgee dalam perjalanan ini. Mula-mula dia bersekongkol, sekarang dia melawak. Nanti dia akan menjadi tukang sihir… atau pejuang! (Frodo, p.259)

Hubungan antar bangsa di Dunia Tengah juga sedikit banyak diperlihatkan di sini. Siapa yang saling bermusuhan, siapa yang tidak mau bekerja sama satu sama lain, siapa mengagumi siapa, siapa takut pada siapa, dan sebagainya. Salah satu saat yang paling manis adalah saat Sam pertama kali bertemu dan berinteraksi dengan para Peri. Sejak lama Sam mengagumi para Peri yang hanya didengarnya dari dongeng dan lagu. Beberapa kali bertemu mereka dan singgah di negeri mereka dalam perjalanannya bersama Frodo, menularkan perasaan hangat dan puas pada saya saat membacanya. Sebaliknya kaum Kurcaci yang sejak lama berselisih dengan bangsa Peri, menimbulkan kisah uniknya kala Legolas sang Peri dan Gimli sang Kurcaci terpaksa harus berada dalam satu perjalanan.

Namun demikian, anehnya mereka tetap merupakan kaum yang tangguh, walau terbiasa hidup nyaman dalam kedamaian. Mereka sulit untuk ditakut-takuti atau dibunuh; dan mereka begitu menyukai barang-barang bagus, walau jika terpaksa mereka bisa hidup tanpa semua itu; mereka juga bisa bertahan menghadapi kesedihan, musuh, atau cuaca, dengan cara yang membuat terperangah orang-orang yang tidak mengenal mereka dengan baik, yang hanya melihat perut serta wajah mereka yang sehat dan cukup makan. (p.15, Tentang Para Hobbit)

Frodo, sebagai kunci dalam perjalanan ini menunjukkan keberanian dan ketangguhan yang luar biasa. Tak terhitung bahaya maut yang dilewatinya, tekadnya untuk menempuh perjalanan demi menghancurkan Cincin itu tetap kuat, dengan atau tanpa teman dan pelindung. Bahkan beberapa kali dia bimbang karena ingin menjauhkan kawan-kawannya dari bahaya yang ditimbulkan oleh Cincin tersebut.

Luka itu akhirnya menguasaimu. Kalau lewat beberapa jam lagi, kami sudah tak bisa membantumu. Tapi dalam dirimu ada kekuatan, hobbit yang budiman! (Gandalf, p.272)

Selain karakter-karakter utama Para Pembawa Cincin, ada karakter-karakter unik yang digambarkan sebagai sosok yang ‘serba tahu dan serba bisa’ seperti Tom Bombadil, beberapa Peri, Penyihir, dan Manusia yang banyak membantu, juga Lady Arwen, putri Elrond dari Rivendell, yang meski hanya ditampilkan sekilas, tetapi sudah terlihat akan menyajikan sebuah kisah (terutama bagi yang sudah pernah mengetahui kisah selanjutnya). Di antara para Peri yang abadi dan tangguh, salah satu yang paling berkesan adalah Lady Galadriel di Lothlórien. Galadriel memiliki kemampuan yang unik untuk memasuki pikiran dan hasrat lawan bicaranya, dia juga memiliki akses ke kedalaman jiwa orang lain. Di Lothlórien, dia bahkan tampak lebih dominan ketimbang suaminya, Lord Celeborn, termasuk penampilan fisiknya.

Tanda tanya yang ditinggalkan buku pertama adalah ke mana perjalanan Para Pembawa Cincin ini, selepas dari Lothlórien, harus berlanjut. Sejak awal Boromir telah mengatakan hanya ikut dalam perjalanan sampai ke Gondor. Setelah itu, dia akan bergabung dengan pasukan di Minas Tirith untuk melawan kekuatan jahat Morgul. Apalagi dengan diketemukannya Cincin Utama dan Pedang Patah, sesuai dengan petunjuk yang didapatnya. Kemudian karena hal-hal tak terduga sepanjang perjalanan, terutama kejadian mengerikan di Moria, berbagai kehilangan dan kerusakan, rombongan ini mulai gamang menentukan arah. Akankah mereka meneruskan perjalanan ke Mordor, atau memperbarui rencana dan mengumpulkan kekuatan dengan singgah ke Gondor.

Nah, biarlah kebodohan menjadi jubah kita, selubung di depan mata Musuh! Karena dia sangat pintar, dan dia menimbang semua hal hingga sekecil-kecilnya, dalam timbangan kejahatannya. Tapi satu-satunya ukuran yang dia kenal adalah hasrat, hasrat untuk kekuasaan; dan begitulah dia menilai semua orang. Dalam hatinya takkan pernah terlintas pikiran bahwa ada orang yang akan menolak, bahwa kita ingin memiliki Cincin itu untuk menghancurkannya. (Gandalf, p.333)

The Lord of the Rings memang oleh penulisnya tidak dimaksudkan untuk menjadi trilogi, tetapi penerbit awalnya memecahnya menjadi tiga buku, dengan dua bagian di tiap bukunya. Mungkin karena itulah buku pertama ini terasa agak ‘nanggung’ petualangannya. 4.5/5 bintang untuk pengenalan Dunia Tengah yang mengagumkan.

Review #24 of Classics Club Project

Review #22 for 2014 TBRR Pile Reading Challenge (Classic)

Review #35 for Lucky No.14 Reading Challenge category Chunky Brick

Scene on Three (65)

SceneOnThree

“…. Boleh dibilang dia sama jahatnya dengan kaum Orc, dan dia seorang musuh. Dia pantas mati.”
“Pantas mati! Menurutku memang begitu. Banyak yang hidup sepantasnya mati. Dan beberapa yang mati sepantasnya tetap hidup. Apa kau bisa memberikan kehidupan pada mereka? Jadi, jangan terlalu bersemangat memberi penilaian. Karena bahkan kaum Bijak tak bisa tahu semua tujuan akhir. ….”
(p.81)

Dialog ini masih saya ambil dari buku yang sama dengan SoT dua edisi sebelumnya, The Fellowship of the Ring oleh J. R. R. Tolkien. Ini adalah salah satu percakapan antara Frodo Baggins dengan Gandalf yang menghasilkan bulir-bulir kebijaksanaan sang penyihir kelabu tersebut.

Gandalf menyatakan bahwa kita tidak boleh terlalu cepat menghakimi. Hal yang secara umum sudah sering kita dengar, tetapi tetap saja dalam kasus Gandalf dan situasi saat itu, terasa lebih bermakna. Makhluk yang sama jahatnya dengan Orc, dan Gandalf masih menahankan emosinya.

Mari berbagi di Scene on Three, caranya:

  1. Tuliskan suatu adegan atau deskripsi pemandangan/manusia/situasi/kota dan sebagainya dari buku pilihan kalian ke dalam suatu post.
  2. Jelaskan mengapa adegan atau deskripsi itu menarik, menurut versi kalian masing-masing.
  3. Jangan lupa cantumkan button Scene on Three di dalam post dengan link menuju blog Bacaan B.Zee.
  4. Masukkan link post kalian ke link tools yang ada di bawah post Bacaan B.Zee, sekalian saling mengunjungi sesama peserta Scene on Three.
  5. Meme ini diadakan setiap tanggal yang mengandung angka tiga, sesuai dengan ketersediaan tanggal di bulan tersebut (tanggal 3, 13, 23, 30, dan 31).